RSS

Coronary Artery Fistula

CORONARY ARTERY FISTULA

Diagnosis and Management

 Irnizarifka, MD.

Resident at Dept. of Cardiology and Vascular Medicine

Faculty of Medicine, Universitas Indonesia

ABSTRACT

Coronary artery fistulae (CAF), also known as coronary arteriovenous malformation, are rare anomalies. Its exact incidence is unknown but estimated for 0.2-0.4% of all congenital cardiac anomalies. Most CAFs are congenital and may be found in patients with structurally normal hearts. A CAF is a connection between one and more of the coronary arteries and a cardiac chamber or great vessel, having bypassed the myocardial capillary bed.

Most children with small CAF are asymptomatic, and continuous murmur may be audible on routine examinations if the fistulae are moderate to large in size. When a large fistula drains into the right side of the heart, there will be volume overload in the right heart as well as pulmonary vascular bed. The patient will develop symptoms of lung overflow and occasionally congestive heart failure. The continuous murmur heard in this anomaly is suggestive of patent ductus arteriosus (PDA) but at the lower site of the left sternal border. The main diagnostic technique is cardiac catheterization and angiography. Transcatheter closure or surgical closure of CAF by epicardial and endocardial ligations are the treatment for CAF and remains safe and effective with good reported success.

We report a case of large CAF originated from the left coronary artery drained into the apex of right ventricle. Recurrent respiratory tract infection (RRTI) was the prominent symptom of the patient. The CAF was confirmed by echocardiography and cardiac catheterization. There was no medication given since heart failure condition was not advanced yet. Transcatheter CAF occlusion was not performed since the fistula was large, hence surgical closure was chosen as definitive treatment. CAF should be considered in children with clinical presentation of left-to-right shunt or lung overflow and continuous murmur at the lower left sternal border.

Keyword : Coronary artery fistula, recurrent respiratory tract infection, continuos murmur.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Februari 17, 2013 inci Cardio Articles

 

Gagal Jantung Diastolik pada Penyakit Jantung Tiroid

GAGAL JANTUNG DIASTOLIK PADA PENYAKIT JANTUNG TIROID

Diagnosis dan Tatalaksana

Irnizarifka, MD.

Resident at Dept. of Cardiology and Vascular Medicine

Faculty of Medicine, Universitas Indonesia

ABSTRAK

Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis dimana pasien mempunyai gejala dan tanda khas gagal jantung yang berasal dari kelainan struktural atau fungsional jantung. Menurut terminologi berdasarkan fraksi ejeksi: fraksi ejeksi yang berkurang dan fraksi ejeksi yang masih baik. Mencari etiologi gagal jantung sangat penting dalam diagnosis dan tatalaksana gagal jantung.

Hormon tiroid mempengaruhi semua sistim organ, terutama jantung yang merespon perubahan minimal pada kadar tiroid di dalam serum seperti pada individu dengan hipertiroid subklinis. Hipertiroidisme menyebabkan perubahan kontraktilitas jantung, konsumsi oksigen otot jantung, curah jantung, tekanan darah, dan resistensi sistemik vaskular. Beban hemodinamik yang diakibatkan hipertiroid menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokard, fraksi ejeksi serta curah jantung. Inisiasi fibrilasi atrial (AF) dimulai bila terjadi kombinasi antara faktor pemicu dengan substrat aritmogenik karena penurunan periode refrakter efektif (ERP), peningkatan dispersi spasial refrakter atau konduksi impuls atrial abnormal.

Kasus ini wanita 55 tahun datang ke UGD RSJPDHK dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 7 jam sebelum masuk RS. Didapatkan rasa berdebar, frekuensi nadi cepat dan iregular. Pemeriksaan jantung S1-S2 iregular, murmur pansistolik IV/6 dengan punctum maksimum di apeks, ronki basah halus di 3/4 lapang paru, gambaran EKG fibrilasi atrium, dan kadar TSH 0,004. Pasien datang dengan penampilan klinis gagal jantung akut, kemudian dilakukan terapi sesuai etiologi dan guideline. Dirawat selama 7 hari, setelah membaik dianjurkan berobat jalan di poliklinik, namun pasien tidak datang.

American Thyroid Association, The Endocrine Society dan The American Association of Clinical Endocrinologist (2005) memberikan pedoman tatalaksana pada individu usia lanjut dan individu dengan faktor risiko (terutama penyakit jantung dan osteoporosis) yang memiliki nilai TSH < 0,1 mU/liter, dibahas pada makalah ini.

Kata kunci : Gagal Jantung Akut, Penyakit Jantung Tiroid.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Februari 11, 2013 inci Cardio Articles

 

Buku Saku Jantung Dasar

Telah Terbit….

Hasil karya kolaboratif : Buku Saku Jantung Dasar.

Tanpa banyak keinginan, hanya 1 tujuan kami…

“semoga dapat bermanfaat bagi banyak orang”

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 26, 2011 inci Cardio Articles

 

Paradigma Baru Diabetes sebagai Risiko Penyakit Kardiovaskular

PARADIGMA BARU DIABETES SEBAGAI RISIKO PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Irnizarifka

Staf Fakultas Kedokteran

Universitas Mataram

Penyakit kardiovaskular hingga kini masih menjadi penyakit dengan morbiditas dan mortalitas tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh belum ditemukannya manajemen yang memuaskanaHa yang dapat memutus siklus morbiditas pada pasien kardiovaskular yang pada akhirnya akan berujung pada kematian. Banyaknya faktor risiko penyakit kardiovaskular menjadi satu perhatian tersendiri, dimana hal tersebut akan terus menambah kompleksitas manajemen, baik di tingkat promotif, preventif, kuratif, maupun tingkat rehabilitatif. Peran perkembangan pengetahuan dan teknologi di era sekarang ini salah satunya telah memberikan kita wawasan yang lebih akurat berkaitan dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Paradigma baru inilah yang kita harapkan akan terus berkembang dari waktu ke waktu.

Diabetes telah diketahui secara luas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Coronary Heart Disease/Ischaemic Heart Disease (IHD). Diabetes merupakan sebuah kelainan metabolik yang didefinisikan sebagai keadaan hiperglikemia persisten karena kurangnya ketersediaan atau efektifitas insulin1. Diagnosis ditegakkan dengan kriteria sebagai berikut1,2.

1.      Gejala khas diabetes dengan kadar gula darah sewaktu lebih dari sama dengan 200 mg/dl atau,

2.      Kadar gula darah puasa lebih dari sama dengan 126 mg/dl atau,

3.      Kadar gula darah 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral lebih dari sama dengan 200 mg/dl.

Pedoman tatalaksana (guideline) diabetes terkini memberikan penekanan pada pengontrolan kadar LDL (Low Density Lipid) sesuai dengan target (< 100 mg/dl) kepada semua pasien dengan diabetes, meskipun bukti penelitian terkait dengan angka target tersebut masih belum memuaskan. Akan tetapi, golongan statin yang menjadi agen terapi dinilai memiliki nilai efektifitas dan keamanan yang sangat memuaskan. Meskipun  demikian, penggunaan agen ini sudah seharusnya disesuaikan dengan pertimbangan efek negatif yang mungkin ditimbulkannya pada pasien dengan diabetes3.

Penelitian terbaru oleh Wannamethee dkk. (2011) yang dipublikasikan oleh British Regional Heart Study mengemukakan hal baru terkait dengan diabetes dan efeknya sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular. Studi prospektif yang dilakukan pada 4045 subjek dengan rentang usia 60-79 tahun ini membandingkan efek kelompok early-onset diabetes (terdiagnosa usia < 60 tahun), kelompok late-onset diabetes (terdiagnosa usia lebih dari sama dengan 60 tahun) dan kelompok non-diabetes dengan riwayat MI terhadap risiko kejadian IHD, penyakit kardiovaskular secara keseluruhan serta mortalitas dengan semua sebab (tabel 1)4.

Tabel 1. Diabetes dan Risiko Penyakit Kardiovaskular4

Kejadian

RR pada Grup

Tanpa Diabetes, Tanpa Riwayat MI

RR pada Grup

Early-onset Diabetes

RR pada Grup

Late-onset Diabetes

RR pada Grup

Tanpa Diabetes, dengan Riwayat MI

Coronary

Heart

Disease

1,0

2,39

(1,41-4,05)

1,54

(1,07-2,21)

2, 51

(1,88-3,36)

Major Cardiovascular Disease

1,0

2,08

(1,33-3,25)

1,37

(1,01-1,84)

2,17

(1,71-2,77)

All-cause Mortality

1,0

1,68

(1,19-2,38)

1,31

(1,06-1,62)

1,48

(1,22-1,78)

Dari hasil tersebut, diketahui bahwa ketiga kelompok subjek memiliki risiko yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (tanpa diabetes, tanpa riwayat MI). Akan tetapi, kelompok late-onset memiliki risiko yang lebih rendah dibanding dengan 2 kelompok lainnya yang memiliki risiko yang hampir sama. Secara statistik, peneliti mendapatkan hasil dimana hanya mereka yang terdiagnosa dengan early-onset diabetes lebih dari 8 tahun yang memiliki peningkatan risiko signifikan terhadap penyakit kardiovaskular dan kematian. Hal ini dikarenakan pada late-onset diabetes, pasien memiliki fungsi sel beta yang masih baik serta kemungkinan kecil terjadinya resistensi insulin4.

Penelitian lain terfokus pada penggunaan obat diabetes oral. Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan metformin memiliki tingkat risiko kejadian penyakit kardiovaskular yang lebih rendah bila dibandingkan dengan beberapa golongan sulfonilurea. Lebih dari 107.000 subjek diteliti secara kohort prospektif menggunakan monoterapi metformin (grup kontrol), glibenklamid, glimepirid, glipizid, tolbutamid, glicazid dan repaglinid yang dimulai antara tahun 1997 hingga 2006. Hasil yang didapatkan seperti tabel 2 berikut5.

Tabel 2. Tingkat Risiko OAD terhadap All-cause Mortality5

Jenis

Agen Sulfonilurea

RR pada Grup

Tanpa Riwayat MI

RR pada Grup

Dengan Riwayat MI

Glimepirid

1,27

(1,18-1,36)

1,30

(1,08-1,57)

Glibenklamid

1,13

(1,02-1,25)

1,34

(1,03-1,75)

Glipizid

1,16

(1,03-1,30)

1, 58

(1,19-2,09)

Tolbutamid

1,12

(0,99-1,26)

1,46

(1,06-2,01)

Glicazid

1,05

(0,91-1,21)

0,85

(0,61-1,17)

Repaglinid

1,00

(0,78-1,29)

1,15

(0,68-1,98)

Hasil yang didapatkan sangat memberi makna, dimana hampir semua sulfonilurea memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi daripada penggunaan metformin sebagai agen terapi tunggal. Penggunaan tolbutamid pada pasien tanpa riwayat MI, penggunaan glicazid dan penggunaan repaglinid memiliki risiko sebanding dengan penggunaan metformin. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa penggunaan plasebo menunjukkan risiko yang jauh lebih tinggi melampaui penggunaan golongan sulfonilurea. Penggunaan metformin sendiri dikaitkan dengan penurunan 40% risiko penyakit kardiovaskular dan kematian5.

Diteliti lebih lanjut secara statistik, ditemukan hazard ratio untuk all-cause mortality pasien tanpa riwayat MI pada kelompok glimepirid, glibenklamid, glipizid dan tolbutamid bila dibandingkan dengan metformin secara bururutan adalah 32%, 19%, 27% dan 28% (p<0,001). Sedangkan kelompok glicazid dan repaglinid menunjukkan hasil yang tidak signifikan5.

Kedua penelitian di awal tahun 2011 ini menunjukkan hasil yang sangat konstruktif dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama endokrinologi dan kardiologi. Penelitian tersebut diharapkan dapat mendongkrak adanya penemuan konstruktif lain yang diharapkan dapat memberi masukan bermakna pada pedoman tatalaksana yang telah ada.

Daftar Pustaka

1.        Baliga R., Hough R., Haq I. Diabetes. Crash Course Internal Medicine; Part III : 35. Published by Elsevier Mosby.

2.        Fauci A.S., Kasper D.L., Longo D.L., et al. Diabetes Mellitus. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition 2008; chap. 338. Published by McGraw Hills.

3.        Idris I. Diabetes and Cardiovascular Risk Equivalency. Arch Intern Med 2011; 171 : 410-411.

4.        Wannamethee S.G., Shaper A.G., Whincup P.H., et al. Impact of Diabetes on Cardiovascular Disease Risk and All-cause Mortality in Older Men. Arch Intern Med 2011; 171:404-410.

5.        Stiles S. Metformin vs Other Sulfonylureas : CV Risk of Diabetes Drugs. European Heart Journal; 2011.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada April 28, 2011 inci Cardio Articles

 

Stem Sel Jantung

STEM SEL JANTUNG

Irnizarifka

General Medicine and Emergency Department

Siantan Timur Primary Health Care

Anambas, Kepri

Penyakit jantung tetap menjadi pembunuh nomor satu dan bahkan endemik di dunia. Hal ini tidak hanya dikarenakan oleh tingginya insiden penyakit jantung itu sendiri, terutama gagal jantung, tetapi juga karena belum maksimalnya medikasi jantung yang dapat menghindarkan terjadinya remodeling sel jantung. Proses remodeling terjadi karena kehilangan sel jantung dan vaskulaturnya secara ireversibel baik melalui apoptosis maupun nekrosis. Remodeling inilah yang menjadi akhir dari hampir semua penyakit jantung, yang berefek pada fungsi pompa jantung yang tidak efektif.

Pada kasus infark miokardial, terapi reperfusi masih menjadi pedoman utama dimana diharapkan dapat mengamankan sel jantung dari bahaya iskemia. Akan tetapi, terapi ini menjadi tidak cukup karena proses penyembuhan dari sel jantung baru terjadi dalam beberapa jam hingga hari. Hal inilah yang tidak dapat menghindarkan sel jantung dari proses remodeling dimana kapasitas regenerasi dan proliferasi sel jantung sangat terbatas, sehingga proses pembentukan scar dan fibrosis sulit dicegah.

Penelitian akan farmakoterapi yang efektif masih terus dilakukan. Terapi stem sel saat ini menjadi tren terhangat meskipun pro dan kontra masih terus bermunculan. Namun demikian, ide dasar dari terapi stem sel dianggap para ahli merupakan cara paling efektif untuk mengurangi terjadinya remodeling yang merupakan irreversible end result dari penyakit jantung.

Berdasarkan cara meregenerasikan, terbagi menjadi 2 yakni autologous residents cardiomyocytes dan allogenic cells transplantation. Cara pertama didapat dengan menstimulasi sel jantung sekitar untuk meregenerasi sel jantung yang cedera, sedangkan cara terakhir didapat dengan mengembangkan dan melakukan transplantasi sel dari bagian tubuh yang lain untuk menstimulasi regenerasi sel jantung. Bab ini akan membahas macam-macam cara transplantasi allogenic cells.

 

I. Stem Sel Embrionik (Embryonic Stem Cell/ESC)

Merupakan pengembangan stem sel yang paling primitif. Didapat dengan cara mengembangkan sel blastocyst manusia pada lima hari pertama setelah fertilisasi. Saat dikembangkan, sel ini mengalami proliferasi dan membentuk agregrasi seperti embrio yang diantaranya dapat berkontraksi secara spontan. Kontraksi ini disebabkan oleh adanya diferensiasi sel baru kardiomiosit karena ekspresi genetik spesifik kardiak seperti cardiac-myosin heavy chain, cardiac troponin I dan T, atrial natriuretic factor, dan cardiac transcription factors GATA-4, Nkx2.5 dan MEF-2.

Kelebihan dari ESC ini adalah sel yang selalu ada dan siap untuk direproduksi serta memiliki fenotip pertumbuhan yang sangat baik, secara in vitro maupun in vivo. Data sementara menyatakan ESC cukup aman diterapkan pada kasus penyakit jantung bawaan, kardiomiopati dan aritmia, akan tetapi penelitian klinis lebih lanjut masih diperlukan untuk mengkonfirmasi keamanan dan efikasinya.

Meskipun demikian ESC masih memiliki beberapa keterbatasan, dimana secara etika maupun legal masih dipertimbangkan bahkan diperdebatkan. Penolakan ESC secara imunologis masih sering terjadi saat dilakukan dengan cara heterologous. Dengan sifat alami berasal dari sel pluripoten, maka pertumbuhan ESC dapat tidak terbatas, sehingga sangat mungkin menjadi penyebab aritmia bahkan tumorigenik (teratoma). Di sisi lain ketersediaan donor juga menjadi satu permasalahan.

 

II. Stem Sel Mioblast Skeletal Dewasa

Merupakan pengembangan dari sel otot skeletal. Teknik ini dapat dilakukan dengan pengembangan kultur maupun cara autologous, dimana cara ke-2 akan mengurangi risiko terjadinya penolakan secara imunologis.

Pengembangan dengan cara autologous menjadi satu kelebihan dari teknik ini. Selain itu, mioblast sangat mudah dikultur dalam waktu relatif lebih singkat. Sel skeletal memiliki sifat lebih tahan terhadap kejadian iskemik (hingga beberapa jam) bila dibandingkan dengan sel jantung (maksimal 20 menit), sehingga apoptosis menjadi minimal.

Pada sisi lain, meskipun akan beradaptasi, sel otot skeletal tetaplah sel otot skeletal yang memiliki sifat dasar berbeda dari sel jantung. Hal ini menjadi sebuah kelemahan dimana sel mioblast skeletal dewasa bersifat lambat menyalurkan impuls atau bahkan tidak meresponnya sama sekali. Inilah penyebab utama terjadinya aritmia. Stabilitas diferensiasi fenotip jangka panjang juga masih dalam pertanyaan.

 

III. Stem Sel Sumsum Tulang Dewasa (Adult Bone Marrow-derived Cells Stem Cells/BMCS)

Teknik menggunakan BMCS mengemuka karena kemampuan neovaskularisasi dan angiogenesis yang sangat baik yang dimiliki. Pada mulanya BMCS dikerjakan melalui intervensi bedah. Namun, dengan tingkat mortalitas tinggi serta tingkat keberhasilan yang hanya mencapai 40 persen, pendekatan metode non invasif saat ini lebih disukai.

Penting untuk diketahui dimana sumsum tulang memiliki beberapa jenis stem sel dengan fenotip yang saling mendukung. Stem sel yang dimaksud adalah Endothelial Precursor Cell (EPC), Mesenchymal Stem Cell (MSC), Hematopoeitic Stem Cell (HSC) dan Multipotent Adult Progenitor Cell (MAPC).

Endothelial Precursor Cell berasal dari prekursor hemangioblast pada sumsum tulang. Stem sel ini akan berdiferensiasi menjadi pembuluh darah baru pada area miokard yang membutuhkan,sehingga preservasi sirkulasi daerah tersebut dapat tercapai. Beberapa penelitian juga menyebutkan EPC dapat mengalami transdiferensiasi menjadi kardiomiosit, tetapi fakta ini harus diteliti lebih lanjut lagi.

Mesenchymal Stem Cell memiliki fungsi yang berbeda. Stem sel ini disamping memiliki kemampuan untuk menginduksi self-renewing pada sel jantung yang cedera, juga secara efektif berdiferensiasi menjadi kardiomiosit baru.

Hematopoeitic Stem Cell pada beberapa penelitian diyakini memiliki efek memperbaiki kerusakan miokard infark serta mendorong pertumbuhan baru dari kardiomiosit, sel endotel dan sel otot halus.

Kemudahan dalam mengisolasi dan mengkultur secara in vitro dengan tingkat pertumbuhan yang cepat dan baik menjadi satu keuntungan pemilihan BMSC. Di samping itu, teknik ini dapat dilakukan secara autologous, sehingga meminimalisasi kejadian penolakan secara imunologis. Penggunaan BMSC tidak menimbulkan kontroversi etika dan legal bila dibandingkan dengan penggunaan ESC.

Kelemahan teknik ini adalah keterbatasan data yang mendukung efisiensi dan stabilitas diferensiasi.

 

IV. Stem Sel Jantung Dewasa (Adult Cardic Stem Cells/ACS)

Penemuan stem sel pada penelitian terhadap tikus menjadi dasar ide ACS. Teknik ini diyakini dapat memperbaiki sel jantung dan endotel, bersifat multipoten serta dapat dikultur dengan baik. Saat dikultur in vitro, ACS akan membentuk kardiomiosit yang dapat berkontraksi. Sedangkan penelitian menggunakan oksitosin pada stem sel tersebut juga akan memberikan kontraksi spontan.

Teknik ini dianggap lebih efektif dan menjanjikan dibandingkan dengan teknik BMSC. Pada prinsipnya, mengganti sel jantung yang cedera paling baik menggunakan cikal bakal sel jantung, karena pastinya akan memiliki karakteristik yang sama.

Minimnya penelitian bahkan bukti efektifitas ACS pada manusia masih menjadi kendala. Selama ini penelitianmasih menggunakan media tikus sebagai subjek penelitian, sehingga penelitian lanjut pada manusia sangat diperlukan.

Perkembangan pengetahuan dalam pilihan terapi penyakit jantung sangatlah pesat. Penemuan stem sel sebagai alternatif terapi menjadi penemuan yang paling signifikan di bidang kardiologi saat ini. Hal ini karena stem sel paling menjanjikan untuk mengurangi kejadian remodeling yang merupakan beban akhir dari penyakit jantung.

Daftar Pustaka

 

Bearzi C. et al. 2007. Human Cardiac Stem Cells. The National Academy of Science of the USA. PNAS vol. 104 no. 35.

Marin-Garcia J. and Goldenthal M.J., 2006. Application of Stem Cells in Cardiology : Where We Are and Where Are We Going. Bentham Science Publishers Ltd. Current Stem Cell Research and Therapy : 1-11.

Lee M.S., Makkar R.R., 2004. Stem Cell Transplantation in Myocardial Infarction : a Status Report (review). American College of Physicians vol 140 no 9.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 9, 2011 inci Cardio Articles

 

Medikasi Jantung dalam Kehamilan

MEDIKASI JANTUNG DALAM KEHAMILAN

Irmitasari, Irnizarifka

Obat-obat jantung atau kardiaka adalah obat-obat yang secara langsung dapat memulihkan fungsi otot jantung yang terganggu ke keadaan normal. Berdasarkan efeknya atas jantung, kardiaka dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yakni :

1. Kardiotonika

Efeknya memperkuat kontraktilitas otot jantung (efek inotrop positif), terutama digunakan pada gagal jantung untuk memperbaiki fungsi pompanya. Kelompok kardiotonika terdiri dari : glikosida jantung (digoksin, metildigoksin, digitoksin), dopaminergika (dopamine, ibopamin, dobutamin) dan penghambat fosfodiesterase (amrinon, milrinon).

2. Obat angina pektoris

Mempunyai daya vasodilatasi atau memperlambat frekuensi jantung. Kelompok obat angina pektoris dibagi menjadi : vasodilator koroner (nitrogliserin, isosorbid-dinitrat, dipiridamol), beta-bloker (sotalol, labetolol), dan antagonis-Ca (nifedipin, verapamil, diltiazem).

3. Antiaritmika

Khasiatnya meniadakan kelainan irama jantung.

Dalam bab ini juga akan dibahas jenis obat lain yang juga penting dalam penyakit jantung dan vaskular, meliputi obat anti hipertensi dan anti trombotik (zat-zat yang digunakan untuk pengobatan atau pencegahan trombosis dan emboli).

 

1. KARDIOTONIKA

a. Glikosida Jantung

Cara Kerja

Khasiat digoksin yang terpenting adalah efek inotrop positif, yakni memperkuat kontraksi jantung, sehingga volume pukulan, volume menit dan diuresis diperbesar, serta jantung yang membesar dapat mengecil lagi. Frekuensi denyutan juga diturunkan (efek kronotrop negatif) akibat stimulasi nervus vagus. Hal ini berbeda dengan banyak zat inotrop positif lain.

Efek pada Wanita Hamil

Wanita hamil boleh menggunakan digoksin dalam dosis normal. Digoksin digunakan untuk mengontrol frekuensi jantung dan memperlama waktu untuk aliran darah ke ventrikel kiri. Sebagian besar ahli menyetujui jika wanita mempunyai risiko fibrilasi atrium atau penyakit jantung mitral dan pembesaran atrium kiri, digoksin diindikasikan.

Dosis : digitalisasi oral 0,25-0,75 mg sehari a.c selama 1 minggu, pemeliharaan 1 dd 0,125-0,5 mg a.c.

 

b. Dopaminergika

Cara Kerja

Dopamin adalah neurotransmiter sentral prekursor adrenalin. Stimulasi dopaminergik mengakibatkan efek yang sama dengan khasiat dopamin, seperti vasodilatasi, memperkuat kontaktilitas jantung, dan penghambat pelepasan adrenalin.

Efek pada Kehamilan

Belum terdapat cukup data mengenai penggunaannya pada wanita hamil.

 

c. Penghambat Fosfodiesterase

Cara kerja

Berkhasiat inotrop positif dan memiliki efek vasodilatasi.

Efek pada Kehamilan

Belum terdapat cukup data mengenai penggunaannya pada wanita hamil.

 

2. OBAT ANGINA PEKTORIS

a. Vasodilator Koroner

Cara Kerja

Berkhasiat relaksasi otot pembuluh darah, bronkus, saluran empedu, lambung dan usus serta saluran kemih.

Efek pada Kehamilan

Penggunaan pada wanita hamil masih belum diketahui efeknya. Namun demikian menurut Roth dan Elkayam, nitrogliserin boleh digunakan pada keadaan miokard infark dengan pengawasan tekanan darah secara ketat.

b. Beta Bloker

Cara Kerja

Zat ini memperlambat pukulan jantung (bradikardi, efek kronotrop negatif). Di samping itu juga dapat meningkatkan peredaran darah karena bradikardi akan memperpanjang waktu diastole.

Efek pada Kehamilan

Baik digunakan sebagai terapi untuk peripartum kardiomiopati, ventrikuler takikardia, Q-T interval prolongation, miokard infark dan takiaritmia.

Dosis : kasus aritmia per-oral 2 dd 80 mg, berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimal 2 dd 160 mg. Kasus hipertensi dan angina 1 dd 160 mg.

c.  Antagonis Kalsium

Cara Kerja

Zat ini memblok Calcium-channels di otot polos arterial dan menimbulkan relaksasi dan vasodilatasi perifer (efek kronotrop negatif).

Efek pada Kehamilan

Nifedipin merupakan anti hipertensi lini pertama pada preeklampsia berat, namun tidak boleh digunakan pada wanita hamil yang mempunyai penyakit jantung. Antagonis Ca juga boleh digunakan pada kasus miokard infark dan takiaritmia.

Dosis Nifedipin : 10-20 mg per-oral diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam.

 

3. ANTIARITMIKA

a. Kuinidin

Berefek pada stabilisasi membran, anti kolinergis, kronotrop negatif dan inotrop negatif. Wanita hamil tidak boleh menggunakan zat ini karena bersifat teratogenik.

b. Amiodaron

Berkhasiat anti aritmia, anti adrenergis dan vasodilatasi. Wanita hamil tidak boleh menggunakan amiodaron karena dapat menyebabkan struma pada janin.

c. Lidokain

Anestetikum lokal ini berkhasiat anti aritmia berdasarkan stabilisasi membran. Tetapi, berbeda dengan kinin, masa refrakter dan penyaluran impulsnya dipersingkat tanpa mengurangi daya kontraksi jantung. Aman digunakan pada wanita hamil, contohnya pada miokard infark.

Dosis : 300 mg i.m atau 50-100 mg i.v dalam 1-2 menit, jika perlu diulang setelah 5-10 menit. Langsung dilanjutkan dengan infus 200-300 mg/jam.

OBAT JENIS LAIN

I. Anti Hipertensi

Pemberian antihipertensi pada preeklampsia ringan maupun berat masih menjadi kontroversi, karena Duley dan beberapa peneliti lain menyimpulkan tidak jelas kegunaannya. Ada juga yang berpendapat bahwa anti hipertensi baru digunakan jika ditemukan tanda janin prematur, absence of fetal compromise, dan pengawasan ketat pada pasien.

Di sisi lain Hendorson menyimpulkan bahwa sampai didapatkan bukti yang lebih teruji, maka pemberian anti hipertensi diserahkan pada klinikus masing-masing. Ini berarti sampai sekarang belum ada antihipertensi yang terbaik untuk pengobatan anti hipertensi pada kehamilan.

Obat anti hipertensi dapat dikelompokkan menjadi:

a. Diuretika

Cara Kerja

Diuretik meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal hingga volume darah dan tekanan darah menurun.

Efek pada kehamilan :

Diuretik akan mengganggu volume plasma sehingga memperburuk perfusi organ dan  aliran darah utero-plasenta sehingga tidak boleh digunakan.

b. Alfa-reseptor bloker

Cara kerja

Zat ini memblok reseptor alfa adrenergik yang terdapat di otot polos pembuluh darah, khususnya pembuluh kulit dan mukosa.

Efek pada kehamilan

Belum terdapat cukup data mengenai penggunaannya pada wanita hamil.

c. Beta bloker

Cara kerja

Anti adrenergik dengan jalan menempati secara bersaing reseptor β adrenergik.

Efek pada kehamilan

Beta bloker pada umumnya tidak boleh digunakan karena mengurangi penyaluran darah melalui plasenta sehingga dapat merugikan perkembangan janin. Namun penggunaan labetolol (trandate) pada akhir kehamilan dianggap aman. Labetolol merupakan beta bloker tidak selektif yang juga bersifat α1-bloker. Berbeda dengan beta bloker lain, labetolol tidak berdaya inotrop negatif atau memperlihatkan waktu laten, karena α1-blokade menyebabkan vasodilatasi langsung secara cepat. Atenolol tidak boleh dipergunakan karena beberapa penelitian menunjukkan hubungannya dengan kejadian hambatan pertumbuhan janin dan berat badan lahir rendah.

Dosis labetolol : 20-80 mg bolus i.v.

d. Obat-obat Susunan Saraf Pusat

Cara kerja

Menstimulasi reseptor α2-adrenergik yang banyak terdapat di SSP. Melalui perangsangan ini, aktifitas saraf adrenergik perifer berkurang.

Efek pada kehamilan

Metildopa (Dopamet, Aldomet) dapat digunakan, karena metildopa mengurangi resistensi perifer tanpa banyak mengubah denyut jantung dan curah jantung, sehingga metildopa dianggap aman dan efektif, terutama untuk terapi hipertensi kronis.

Ferrer menyimpulkan bahwa penggunaannya pada trimester pertama tidak ada hubungannya dengan kelainan janin. Obat-obat lain belum memiliki cukup data, namun beberapa referensi beranggapan klonidin aman digunakan.

Dosis metildopa : 3 x 500 mg, dosis maksimal 3 gram per hari, dengan dosis permulaan 2 x 250 mg.

Dosis klonidine (Catapres): 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air.

e. Antagonis Kalsium

Cara kerja

Zat ini menghambat pemasukan ion-Ca ekstrasel ke dalam sel sehingga mengurangi penyaluran impuls dan kontraksi miokard serta dinding pembuluh.

Efek pada kehamilan

Nifedipin (Adalat/Retard/Oros) merupakan anti hipertensi lini pertama pada preeklampsia berat, sedangkan nimodipin (Nimotop) memiliki kontraindikasi mutlak pada kehamilan. Nifedipin digunakan untuk hipertensi berat dan secara luas digunakan pula sebagai tokolitik , namun tidak boleh digunakan pada wanita hamil yang mempunyai penyakit jantung dan wanita dengan kehamilan ganda.

Dosis Nifedipin: 10-20 mg per oral diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam.

Nifedipin tidak boleh digunakan sublingual karena memiliki efek vasodilatasi sangat cepat.

f. Penghambat RAAS (Penghambat ACE dan AT II Receptor Bloker)

Cara kerja

Zat ini menurunkan tekanan darah dengan jalan mengurangi daya tahan pembuluh perifer dan vasodilatasi.

Efek pada kehamilan

Wanita hamil tidak boleh menggunakan ACE inhibitor maupun AT II-bloker karena bersifat teratogenik terutama bila obat digunakan ibu selama 2 trimester terakhir. Penghambat ACE menyebabkan fetus mengalami gagal ginjal berkepanjangan, penurunan osifikasi tempurung kepala, dan disgenesis tubulus renal. Pada 3 bulan pertama kehamilan, ACE inhibitor dan angiotensin II dapat menyebabkan hipoplasia paru dan ginjal serta hipokalvaria antagonis reseptor. Jika diberikan setelah 3 bulan pertama dapat menyebabkan oligohidramnion, retardasi pertumbuhan, hipoplasia paru dan ginjal, anuria, hipotensi, serta hipokalvaria.

g. Vasodilatator

Cara kerja

Berkhasiat vasodilatasi langsung terhadap arteriole.

Efek pada kehamilan

Hanya hidralazin yang aman digunakan, sedangkan dihidralazin dan minoxidil belum tersedia cukup data. Hidralazin adalah vasodilator langsung pada arteriole yang menimbulkan refleks takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi utero-plasenta. Namun ada pendapat bahwa  sodium nitroprusside dan diazokside dapat digunakan sebagai anti hipertensi lini kedua pada preeklampsia berat.

Dosis Hidralazin dosis awal 5 mg bolus, jika tekanan darah turun 20-30 menit stelah pemberian awal, ulangi dengan dosis yang sama atau naikkan menjadi 10 mg tiap 20-30 menit.

Sodium Nitroprusside 0,25 µg iv/kg/menit, infus; ditingkatkan 0,25 µg iv/kg/ 5 menit

Diazokside 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infus 10 mg/menit/dititrasi.

II. Trombolitik

Adalah zat-zat yang digunakan untuk terapi dan prevensi trombosis.

a. Heparin

Berkhasiat menetralkan trombin dengan segera. Heparin yang tidak difraksionisasi merupakan pengobatan pilihan untuk tromboembolisme akut. Heparin tidak melewati plasenta, dengan demikian tidak bersifat teratogenik. Unfractioned heparin (UFH) dosis rendah masih menjadi kontroversi untuk  digunakan pada wanita hamil. Beberapa ahli menemukan kematian pada wanita yang menggunakan heparin dosis rendah, namun beberapa penelitian menyarankan penggunaan unfractioned heparin selama kehamilan sampai 6-12 minggu paska persalinan. Setelah kelahiran, warfarin oral dapat digunakan. Heparin harus diberikan secara intravena atau subkutan untuk menjaga agar PTT menjadi 1,5-2,0 x normal.

Heparin juga baik digunakan pada atrial flutter atau atrial fibrillation jika fibrilasi menetap dan menjadi kronis saat kehamilan, terutama jika terdapat mitral stenosis.

Heparin dengan berat molekul rendah juga aman, namun efektivitasnya dalam kehamilan belum dapat divalidasi. Akibat waktu paruhnya yang panjang dan resistensinya, beberapa pihak menyarankan mengkonversi LMWH menjadi UFH pada usia gestasi 35-36 minggu.

b. Warfarin

Khasiat anti koagulannya berdasarkan mekanisme saingan dengan vitamin K. Terutama digunakan untuk prevensi sekunder infark otak dan jantung. Reimold dan Rutherford menyarankan penggunaannya selama kehamilan sampai usia kehamilan 36 minggu. Namun beberapa peneliti menyimpulkan, warfarin bersifat teratogenik dan dapat menyebabkan abortus dan malformasi janin.

 

 

 

Daftar Pustaka

 

  1. Brunton L.L., Lazo J.S., Parker K.L. 2006. Goodman and Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics 11th Edition. McGraw Hill Medical Publishing Division.
  2. Cunningham dkk. 2010. Williams Obstetric 23rd Edition. Medical and Surgical Complication of Cardiovascular Disease. United States of America : The McGraw Hill Companies. 958-978.
  3. Danakas,G.T. 2007. The Care of The Gynecologic and Obstetric Patient 2nd edition. High Risk Obstetric. Philadelphia : Mosby Inc. 437-440.
  4. Ganiswarna, S.G. Farmakologi dan Terapi. Antihipertensi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  5. Jones, Llewellyn, D. 2002. Dasar- Dasar Obstetri dan Ginekologi. Gangguan Kardiovascular. Jakarta : Hipocrates. 118-119.
  6. Mc. Phee, S.J, Papadakis, M.A. 2009. Current Medical Diagnosis and Treatment. Cardiovascular Complications of Pregnancy. California : McGraw-Hill Companies. 374.
  7. Mc. Phee, S.J, Papadakis, M.A. 2009. Current Medical Diagnosis and Treatment. Systemic Hypertension. California : McGraw-Hill Companies. 697.
  8. Norwitz, E., Schorge, J. 2008. At a Glance Obstetri and Gynecology. Penyakit Kardiovaskular dalam Kehamilan. Jakarta : Erlangga. 92-93.
  9. Opie L.H., Gersh B.J. 2009. Drugs for the Heart 7th Edition. Saunders Elsevier.
  10. Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Obat pada Perempuan Hamil dan Janinnya. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 67-80.
  11. Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Hipertensi dalam Kehamilan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 67-80.
  12. Tjay, T.H, Raharja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Obat- Obat selama Kehamilan dan Laktasi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 538-565.
  13. Tjay, T.H, Raharja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Obat Jantung. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 585-606.
  14. Tjay, T.H, Raharja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Antihipertensiva. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 538-565.
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 29, 2010 inci Cardio Articles

 

Kompleksitas Tensi Tinggi yang Mengancam Jiwa pada Pelayanan Primer Perifer

KOMPLEKSITAS TENSI TINGGI YANG MENGANCAM JIWA

PADA PELAYANAN PRIMER PERIFER

 

Irnizarifka

General Medicine and Emergency Department

Siantan Timur Primary Health Care

Anambas, Kepri

Tekanan darah tinggi, atau lebih dikenal dengan istilah hipertensi, merupakan permasalahan medis yang sangat penting terutama di kalangan usia tua. Menurut data yang dikeluarkan oleh JNC 7, penyakit ini diderita oleh lebih dari setengah populasi berusia 60-69 tahun dan bahkan tiga perempat populasi berusia di atas 70 tahun.

Dari sumber yang sama, hipertensi sistolik merupakan bentuk tersering pada usia 50 tahun ke atas. Data lain oleh Framingham Heart Study menyatakan bahwa orang dengan tensi yang normal sekalipun, memiliki risiko mengalami darah tinggi sebesar 90% saat usianya mulai menginjak 55 tahun, dan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya usia.

Bagi masyarakat awam penyakit ini lebih dikenal sebagai penyakit karena usia, sehingga beberapa orang menganggap hipertensi hanyalah suatu kondisi dan bukan merupakan penyakit yang harus mendapatkan perhatian secara medis.

Hal ini menjadi tantangan yang serius, mengingat hubungan antara hipertensi dengan tingkat kejadian penyakit jantung berlaku secara kontinyu dan independen dari faktor risiko lain.

Terdapat banyak permasalahan yang menjadi dasar sulit terkontrolnya tekanan darah pada penderitanya di level penyelenggaraan pelayanan primer, seperti kendala geografis yang menyulitkan akses kesehatan, keterbatasan Sumber Daya Manusia kompeten terutama di pelayanan kesehatan perifer, keterbatasan pasokan dan pilihan medikasi, hingga kurangnya kesadaran dan kepatuhan dari populasi itu sendiri.

Semua permasalahan tersebut menyebabkan banyak penderita hipertensi tidak mendapatkan manajemen yang adekuat untuk mengontrol tensi yang dimilikinya. Implikasi permasalahan ini berupa munculnya beberapa kasus krisis hipertensi yang mengancam jiwa, baik hipertensi urgensi maupun hipertensi emergensi.

Permasalahan tersebut relatif dapat terpecahkan di Puskesmas dengan pelayanan rawat inap, sedangkan pada Puskesmas ‘minimalis’ yang hanya mengandalkan pelayanan rawat jalan sebagai ujung tombak, hal ini tentunya menjadi lebih sulit, dimana idealisme penanganan musti mengalami sedikit modifikasi tetapi tanpa berubah dari tatalaksana paten dan terkini yang telah ditetapkan.

Hipertensi dikatakan emergensi bila secara mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 dan/atau diastolik ≥ 120, dengan disertai bukti kerusakan organ target. Tatalaksana penurunan tensi dilakukan dalam hitungan menit sampai jam.

Tekanan darah mulanya diturunkan 20-25% dalam 5-120 menit pertama, yang kemudian harus telah mencapai 160/100 mmHg dalam 2-6 jam.Di 6-24 jam berikutnya tekanan darah diturunkan hingga di bawah 140/90 mmHg.

Hipertensi urgensi merupakan kondisi dimana sistolik ≥ 180 dan/atau diastolik ≥ 120 yang mendadak tetapi tanpa disertai bukti kerusakan organ target. Tatalaksana hipertensi urgensi dapat dilakukan dalam hitungan jam hingga hari.

Pada suatu daerah terpencil dimana terdapat beberapa hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan level lebih tinggi, manajemen krisis hipertensi tetap harus diusahakan seoptimal mungkin.

Permasalahan lebih banyak terjadi pada situasi yang dimiliki oleh Puskesmas ‘minimalis’, dimana memonitor pasien merupakan keterbatasan tersendiri. Karena itu, edukasi pada keluarga pasien dapat menjadi prioritas.

Manajemen tensi tinggi yang mengancam jiwa dimodifikasi dengan keterlibatan keluarga dalam memonitor pasien secara sederhana, seperti bila terdapat penurunan kondisi umum pasien atau munculnya gejala lain yang sebelumnya tidak ada.

Obat Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACEi) sublingual menjadi Drug of Choice (DOC), sedangkan penggunaan Calcium Channel Blocker (CCB) sebisa mungkin dihindari karena secara klinis dapat menurunkan tensi dengan cepat dengan kemungkinan untuk tidak termonitor.

Predikat keterbatasan baik pada pelayanan Puskesmas ‘minimalis’ maupun pelayanan primer perifer seharusnya dirubah menjadi suatu tantangan tersendiri. Hal ini dapat dilakukan oleh petugas medis dengan memodifikasi tata cara tanpa mengubah tatalaksana paten.

Peningkatan program promotif dan preventif diharapkan dapat menjadi penekan munculnya kasus krisis hipertensi yang mengancam jiwa tersebut.

Daftar Pustaka:

  1. Camm A.J., Luscher T.F., Serruys P.W., 2009. The ESC Cardiovascular Medicine Second Edition. Oxford University Press.
  2. Lukito A.A., dkk., 2008. Ringkasan Eksekutif Krisis Hipertensi. Perhimpunan Hipertensi Indonesia.
  3. Singer M., Webb A.R., 2005. Oxford Handbook of Critical Care 2nd Edition. Oxford University Press Inc.
  4. Sue, D.Y., Vintch J.R., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill.
  5. United States Department of Health and Human Services. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee. National Institute of Health Publication.
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 2, 2010 inci Cardio Articles

 

Shalawat Nariyah

أللّهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ الّذِي تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

“Allohumma sholli shollatan kamilah wa sallim salaman. Taman ‘ala sayyidina Muhammadiladzi tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil kurobu. Wa tuqdhobihil hawa iju wa tunna lu bihiro ‘ibu wa husnul khowatim wa yustaqol ghomawu biwaj hihil kariim wa ‘ala aalihi washosbihi fii kulli lamhatin wa hafasim bi’adadi kulli ma’luu mi laka ya robbal ‘aalamiin”

Artinya :

“Ya Allah Tuhan Kami, limpahkanlah kesejahteraan dan keselamatan yang sempurna atas junjungan kami Nabi Muhammad SAW. Semoga terurai dengan berkahnya segala macam buhulan dilepaskan dari segala kesusahan, ditunaikan segala macam hajat, tercapai segala keinginan dan khusnul khotimah, dicurahkan rahmat dengan berkah pribadinya yang mulia. Kesejahteraan dan keselamatan yang sempurnah itu semoga Engkau limpahkan juga kepada para keluarga dan sahabatnya setiap kedipan mata dan hembusan nafas, bahkan sebanyak pengetahuan Engkau, Ya Tuhan semesta alam”

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Agustus 24, 2010 inci Tidak Dikategorikan

 

Uretritis Non Spesifik

URETRITIS NON SPESIFIK

Penulis : Irnizarifka

Erika Khairani

Pendahuluan

Sebelum tahun 1970 hampir 90% kasus uretritis belum diketahui penyebabnya, sedangkan 10% sudah diketahui penyebabnya, yaitu Gonokok, Trichomonas vaginalis, Candida albicans dan benda asing. Dengan semakin majunya fasilitas diagnostik sesudah tahun 1970, penyebab uretritis sudah diketahui 75%, sedangkan sisanya 25% lagi masih dalam taraf penelitian2.

Uretritis merupakan kondisi urologis yang normal terjadi dan sulit ditegakkan diagnosanya oleh dokter, sehingga mempersulit pemberian pengobatan yang tepat. Organisme seperti Trichomonas vaginalis, Neiserria gonorrheae, Chlamydial trachomatis dan Mycoplasma spp dilaporkan menjadi penyebab terjadinya uretritis. Meski demikian, sebagian pasien dengan uretritis tidak memiliki organisme tersebut. Dengan demikian, diagnosa uretritis khususnya pada pria dengan tidak adanya penanda inflamasi uretra menjadi sulit, karena belum adanya informasi yang jelas mengenai komposisi flora uretra pada pria normal maupun penderita uretritis5.

Pada sebuah studi yang dilakukan, didapatkan beberapa mikroorganisme gram positif yang menjadi mikroflora pada uretra seseorang yang normal. Lactobacilli, Coagulase negative staphylococci dan Streptococci dilaporkan juga menjadi bagian dari flora normal. Partisipasi dari beberapa flora normal ini diyakini menjadi bagian untuk mencegah invasi mikroorganisme oportunistik5.

Uretritis merupakan kondisi inflamasi yang terjadi pada uretra yang dapat disebabkan oleh proses infeksi atau non infeksi dengan manifestasi discar, disuria, atau gatal pada ujung uretra. Temuan fisik yang paling sering ditemukan berupa discar uretra, sedangkan temuan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear dengan pengecatan Gram pada usapan uretra atau dari sedimen pancaran urin awal. Untuk memudahkan dalam perawatan, seringkali infeksi uretritis diklasifikasikankan menjadi Uretritis Gonococcal dan Uretritis Non-gonococcal (disebut pula uretritis non spesifik)3.

Disebut sebagai uretritis gonococcal jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Neisseria gonorrhea, sebaliknya jika tidak ditemukan N.gonorrhea disebut sebagai urethritia non gonococcal atau uretritis non spesifik. Kedua klasifikasi diatas termasuk dalam kategori penyakit dengan transmisi secara seksual7.

Infeksi Chlamidya trachomatis pada banyak negara merupakan penyebab utama infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Laporan WHO tahun 1995 menunjukkan bahwa infeksi oleh C. trachomatis diperkirakan 89 juta orang. Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada angka yang pasti mengenai infeksi C. trachomatis6.

Definisi

Uretritis Non Spesifik (UNS) memiliki pengertian yang lebih sempit dari Infeksi Genital Non Spesifik, dimana peradangan hanya pada uretra yang disebabkan oleh kuman non spesifik. Yang dimaksud dengan kuman spesifik adalah kuman yang dengan fasilitas laboratorium biasa atau sederhana dapat ditemukan seketika, misalnya gonokok, Candida albicans, Trichomonas vaginalis dan Gardnerella vaginalis2.

Uretritis Non Spesifik ditandai dengan keluarnya sekret dan/atau disuria, tetapi mungkin juga asmtomatik. Chlamydial trachomatis merupakan mikroorganisme tersering di negara maju yang menular melalui kontak seksual. Mikroorganisme ini utamanya menyerang traktus genitalia4.

Epidemiologi

Uretritis Non Spesifik banyak ditemukan pada orang dengan keadaan sosial ekonomi lebih tinggi, usia lebih tua dan aktivitas seksual yang lebih tinggi. Juga ternyata pria lebih banyak daripada wanita dan golongan heteroseksual lebih banyak daripada golongan homoseksual2.

Chlamydia trachomatis merupakan penyebab Uretritis Non Spesifik (UNS) terbanyak dibanding dengan organisme lain. Dari berbagai studi dilaporkan bahwa 30 – 60 % dari penderita UNS dapat diisolasi C. trachomatis, selanjutnya 4 – 43 % dari pria penderita gonore dan 0 – 7 % dari pria dengan uretritis asimtomatik6.

Etiologi

Uretritis non spesifik adalah inflamsi pada uretra yang disebabkan oleh infeksi selain gonococcal. Etiologi dari uretritis non spesifik dapat disebabkan oleh bakterial, viral, ataupun parasit. Banyak organisme berbeda yang berperan dalam terjadinya uretritis terutama agen bakteri basil Gram negative seperti E.Coli, Proteus, Klebsiella atau Enterobacter. Namun pada kasus uretritis non spesifik yang dapat ditularkan secara seksual agen yang sangat berperan adalah8 :

Bakteri  :  Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Haemophylus vaginalis, dan Mycoplasma genitalium.

Viral       : Herpes simpleks, Adenovirus.

Parasit   : Trichomonas vaginalis.

Tabel I. Etiologi Uretritis Menular Seksual

Gonococcal:N. gonorrhea

Nongonococcal :

C. trachomatis, 15-40%

M. genitalium, 15-25 %

Lain-lain, 20-50 %

T. vaginalis, 5-15%

U. urealyticum. <15%

HSV, 2-3%

Adenovirus, 2-4%

Haemophilus sp., jarang

Tidak diketahui

 

1. Infeksi Chlamydial trachomatis

Telah terbukti bahwa lebih dari 50% kasus Uretritis Non Spesifik disebabkan oleh kuman ini. Chlamydial trachomatis merupakan parasit intraobligat, menyerupai bakteri gram negatif. Chlamydial trachomatis penyebab Uretritis Non Spesifik ini termasuk subgroup A dan mempunyai tipe serologic D-K2.

Mikroorganisme ini menginfeksi 3-5% wanita muda yang secara seksual aktif. Prevalensi kejadian pada pria tidak diketahui tetapi diperkirakan rendah. Prevalensi secara keseluruhan diyakini meningkat, dikarenakan terdapat banyak infeksi yang tidak diketahui sehingga tidak mendapatkan terapi. Terhitung 89 juta infeksi terjadi di dunia setiap tahunnya, dengan 4-5 juta penderita berada di USA. Infeksi klamidial terjadi lebih banyak pada kelompok usia di bawah 25 tahun, dengan 1 atau lebih partner seksual, minim kontrasepsi, pengguna pil kontrasepsi dan pelaku aborsi kehamilan4.

Dalam perkembangannya, Chlamydial trachomatis mengalami 2 fase. Fase pertama (non infeksiosa) terjadi keadaan laten yang dapat ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva. Pada saat ini, kuman bersifat intraseluler dan berada di dalam vakuol yang letaknya melekat pada inti sel hospes (disebut badan inklusi). Sedangkan fase kedua (penularan) bila vakuola pecah kuman keluar dalam bentuk badan elementer yang dapat menimbulkan infeksi pada sel hospes yang baru2.

Species C. trachomatis mempunyai 515 serovar, dimana serovar A,B dan C menyebabkan tarchoma, serovar D sampai K menyebabkan infeksi genital, serovar L1 sampai L3 menyebabkan limfogranuloma venereum (LGV) 6.7. Chlamydia merupakan bakteri obligat intraselular, hanya dapat berkembang biak di dalam sel eukariot hidup dengan membentuk semacam koloni atau mikrokoloni yang disebut Badan Inklusi (BI). Chlamydia membelah secara benary fision dalam badan intrasitoplasma. C. trachomatis berbeda dari kebanyakkan bakteri karena berkembang mengikuti suatu siklus pertumbuhan yang unik dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu berupa Badan Inisial6.

Chlamydial trachomatis merupakan bakteri pathogen intraseluler yang mengakibatkan reaksi inflamasi. Pathogenesis dari sekuel inflamasi kronis dipercaya dimediasi oleh agen imunologis. Tetapi hal ini masih dalam penelitian4.

Chlamydial trachomatis adalah bakteri Gram negatif obligat intraseluler, dan merupakan penyebab penyakit menular seksual yang paling sering terjadi. Diperkirakan terjadi 4 juta kasus infeksi Chlamydia tiap tahunnya dengan angka prevalensi > 10 %, atau 15-40% dari kasus uretritis non spesifik atau dua kali prevalensi dari kasus Gonorrhea. Traktus urogenital merupakan daerah yang paling sering terinfeksi oleh C. trachomatis. Transmisi terjadi melalui rute oral, anal, atau melalui hubungan seksual. Gejala terjadi dalam 1-3 minggu setelah infeksi. Namun demikian, sering terjadi infeksi asimtomatik sebesar 80% pada wanita dan 50 % pada pria. Co-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya sering kali terjadi terutama gonorrhea7.

Manifestasi penyakit yang paling umum terjadi pada infeksi C. trachomatis adalah uretritis, ditandai dengan discharge encer atau mukoid pada uretra, dapat disertai dengan disuria. Pada infeksi rectum menyebabkan proktitis pada wanita maupun pria. Infeksi juga dapat termanifestasi sebagai Lymphogranuloma venerum3.

Infeksi menular melalui kontak penetrasi seksual termasuk seks oral. Pada beberapa kasus didapatkan penularan non kontak seksual, tetapi sangat jarang terjadi. Kebanyakan wanita yang terinfeksi akan mengalami periode asimtomatik dalam hitungan bulan hingga tahun, tetapi 10-40% akan mengalami penyakit peradangan pelvis. Masa inkubasinya tidak diketahui. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi akan mengalami konjungtivitis klamidial (30-50%) atau pneumonia. Pada pria, uretritis dikeluhkan dalam kurun waktu 1 bulan setelah mendapat pajanan infeksi, tetapi sekitar 50% kasus asimtomatik4.

Terapi yang direkomendasikan adalah doksisiklin 100 mg bd untuk 7 hari atau azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal. Keduanya sama secara klinis sama efektif. Pada wanita hamil, eritromisin 500 md bd untuk 14 hari atau amoksisilin 500 mg td adalah obat pilihan, tetapi penggunaan amoksisilin masih dalam perdebatan4.

 

2. Infeksi Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis

Ureaplasma urealyticum merupakan 25% sebagai penyebab Uretritis Non Spesifik dan sering bersamaan dengan infeksi Chlamydial trachomatis. Dahulu dikenal dengan nama T-strain mycoplasma. Mycoplasma hominis juga sering bersama-sama dengan infeksi Ureaplasma urealyticum. Mycoplasma hominis sebagai penyebab Uretritis Non Spesifik masih diragukan, karena kuman ini bersifat komensal yang dapat menjadi pathogen dalam kondisi tertentu. Ureaplasma urealyticum merupakan mikroorganisme paling kecil, gram negative dan sangat pleomorfik karena tidak memiliki dinding sel yang kaku2.

 

3. Infeksi Mycoplasma genitalium

Mycoplasma sp. merupakan  salah satu mikroorganisme terkecil yang dapt berkoloni di traktur respirasi dan urogenital. Mycoplasma memiliki 13 spesies, 4 diantaranya menginfeksi traktus genital, yaitu Mycoplasma hominis, M. genitalium, Ureaplasma parvum, dan U. urealyticum. Sekitar 40-80 % wanita yang aktif secara seksual mengalami kolonisasi genital dari ureaplasma. Organisme ini juga berperan dalam 20-30% kasus uretritis nonspesifik8.

Pasien dengan infeksi mycoplasma genital sering tidak terdiagnosis, karena gejala yang timbul biasanya dikaitkan dengan patogen lain yang lebih umum seperti Chlamydia. Seperti halnya Chlamydia, infeksi mycoplasma genital mengakibatkan uretritis, cervicitis, PID, endometritis, salpingitis, dan chorioamnionitis. Spesies lainnya dpat menyebabkan infeksi pernapasan, arthritis septic, pneumonia neonatal, dan meningitis8.

 

4. Infeksi Trichomonas vaginalis

Organisme lain seperti Trichomonas vaginalis dan virus herpes simpleks hanya berperan kecil dalam kejadian kasus uretritis non spesifik. T. vaginalis merupakan protozoa yang menyebabkan kondisi yang dinamakan trikomoniasis. T. vaginalis menginfeksi epitel vagina dan uretra, menyebabkan ulserasi. Infeksi pada wanita menyebabkan timbulnya keputihan yang berbau, berwarna kuning kehijauan, disertai pruritus, eritema dan dispareunia. Pada pria seringkali asimtomatis, keluhan yang muncul berupa discar uretra, nyeri berkemih yang terasa panas, dan frekuensi8.

 

5. Alergi

Ada dugaan bahwa Uretritis Non Spesifik disebabkan oleh reaksi alergi terhadap komponen sekret alat urogenital pasangan seksualnya. Alasan ini dikemukakan karena pada pemeriksaan sekret Uretritis Non Spesifik tersebut ternyata steril dan pemberian obat antihistamin dan kortikosteroid mengurangi gejala penyakit2.

 

6. Bakteri

Mikroorganisme penyebab Uretritis Non Spesifik ini adalah Staphylococcus dan Diphteroid. Sesungguhnya bakteri ini dapat tumbuh komensal dan menyebabkan uretritis hanya pada beberapa kasus2.

Gejala Klinis

Tanda dan gejala Uretritis Gonococcal (UG) dan Uretritis Non-Gonococcal (UNG) pada dasarnya adalah sama, namun berbeda pada derajat keparahan gejala yang timbul. Kedua uretritis baik gonococcal maupun non-gonococcal menyebabkan adanya lendir, dysuria, dan gatal pada uretra. Lendir yang sangat banyak, dan purulen lebih sering pada gonorrhea, sedangkan pada kondisi UNG, lendir yang dihasilkan lebih sedikit dan mukoid. Pada UNG, lendir sering hanya muncul pada pagi hari, atau hanya terlihat seperti krusta yang melekat di meatus atau terlihat seperti bercak pada pakaian dalam. frekuensi, hematuria, dan urgensi sering terjadi pada kedua jenis infeksi. Masa inkubasi jauh lebih pendek pada infeksi gonorrhea, yaitu dalam 2-6 hari, sedangkan pada UNG, gejala muncul dalam 1-5 minggu setelah infeksi, dengan masa inkubasi rata-rata 2-3 minggu7.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kreiger yang membandingkan manifestasi klinis uretritis gonococcal, chlamydial, dan trichomonal. Hanya 55% pria dengan trichomoniasis yang mengalami lendir uretra, dibandingkan pada infeksi Chlamydia 82%, dan 93% pada gonorrhea. Lendir yang dihasilkan pada infeksi N. gonorrhea, 82% berjumlah sangat banyak dan purulen. Berbeda dengan infeksi Chlamydia dan Trichomonal dengan sedikit lendir berwarna jernih atau mukoid7.

Tanda pada Pria

Gejala baru mulai timbul biasanya setelah 1-3 minggu kontak seksual dan umumnya tidak seberat gonore. Gejalanya berupa disuria ringan, perasaan tidak enak di uretra, sering kencing dan keluarnya duh tubuh seropurulen. Dibandingkan dengan gonore, perjalanan penyakit lebih lama karena masa inkubasi yang lebih lama dan ada kecenderungan kambuh kembali. Pada beberapa keadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh, sehingga menyulitkan diagnosis. Dalam keadaan demikian sangat diperlukan pemeriksaan laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi berupa prostatitis, vesikulitis, epididimitis dan striktur uretra2.

 

Tanda pada Wanita

Infeksi lebih ringan terjadi di serviks bila dibandingkan dengan vagina, kelenjar Bartholin atau uretra sendiri. Sama seperti pada gonore, umumnya wanita tidak menunjukkan adanya gejala. Sebagian kecil dengan keluhan keluarnya duh tubuh vagina, disuria ringan, sering kencing, nyeri daerah pelvis dan dispareunia. Pada pemeriksaan serviks dapat dilihat tanda-tanda servisitis yang disertai adanya folikel-folikel kecil yang mudah berdarah. Komplikasi dapat berupa bartholinitis, proktitis, salfingitis dan sistitis. Peritonitis dan perihepatitis juga pernah dilaporkan2.

Diagnosis

Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena gonore atau non-gonore. Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis oleh klamidia, perlu pemeriksaan khusus untuk menemukan atau menentukan adanya C. trachomatis. Pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan sejak lama adalah pemeriksaan sediaan sitologi langsung dan biakan dari inokulum yang diambil dari specimen urogenital. Baru pada tahun 1980an ditemukan tehnologi pemeriksaan terhadap antigen dan asam nukleat C. trachomatis2.

Pemeriksaan menyeluruh pada pasien dengan penyakit menular seksual, termasuk uretritis, sangat penting dalam mengarahkan terapi yang tepat. Kuantitas discar pada uretritis dapat dikategorikan “banyak” (mengalir secara spontan dari uretra), “sedikit” (keluar hanya jika uretra di ekspos), “sedang” (keluar secara spontan, namun hanya sedikit).  Warna dan karakter discharge uretra harus diperhatikan. Lendir berwarna kekuningan atau hijau disebut sebagai lender purulen. Lendir berwarna putih yang bercampur cairan jernih dinamakan lender “mukoid”. Jika hanya lendir bening, dinamakan “jernih”. Adanya inflamasi pada meatus uretra, edema penis, dan pembesaran kelenjar limfe juga harus diperhatikan7.

Pemeriksaan sitologi langsung dengan pewarnaan giemsa memiliki sensitivitas tinggi untuk konjungtivitis (95%), sedangkan untuk infeksi genital rendah (pria 15%, wanita 41%). Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya juga rendah, 62%. Hingga saat ini pemeriksaan biakan masih menjadi baku emas pemeriksaan klamidia. Spesifitasnya mencapai 100%, tetapi sensitivitasnya bervariasi bergantung pada laboratorium yang digunakan (nilai berkisar 75-85%). Prosedur, tehnik dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3 hingga 7 hari2.

Metode pendeteksian antigen ada beberapa cara, yaitu Direct Fluorescent Antibody (DFA) yang menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dengan mikroskop imunofluoresen dan Enzyme Immuno Assay (EIA) atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dengan alat spektrofotometri. Metode pendeteksian terbaru adalah dengan cara mendeteksi asam nukleat C. trachomatis. Hibridisasi DNA Probe (Gen Probe) mendeteksi DNA CT lebih sensitive dibanding Elisa karena dapat mendeteksi DNA dalam jumlah kecil melalui proses hibridisasi. Cara lain menggunakan Amplifikasi Asam Nukleat (Polimerase Chain Reaction dan Ligase Chain Reaction) 2.

Dalam sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2008, didapatkan hasil bahwa tidak diperlukan adanya investigasi lebih lanjut menggunakan mikroskopi pada penderita yang asimtomatik karena hanya presentase kecil penderita didapatkan hasil yang positif akan bakteri patogen1.

Penegakan diagnosis uretritis didasarkan pada tanda klinis serta pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut:

  1. Discar purulen atau mukopurulen.
  2. Pengecatan Gram pada sekresi uretra menunjukkan adanya >5 leukosit per lapang pandang. Pengecatan Gram merupakan tes diagnostik yang umum digunakan untuk mengevaluasi uretritis. Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik untuk menentukan adanya uretritis dan ada tidaknya infeksi gonococcal. Infeksi gonococcal ditegakkan jika ditemukan diplococcus intraseluler pada leukosit.
  3. Tes leukosit esterase pada pancaran urin pertama yang menunjukkan hasil positif atau pemeriksaan mikroskopis pancaran urin pertama menunjukkan ≥10 leukosit per lapang pandang besar.

Jika tidak ada kriteria diatas yang positif, pasien harus di tes untuk konfirmasi infeksi N. gonorrhea atau C. trachomatis. Jika hasil tes menunjukkan infeksi N. gonorrhea atau C.trachomatis, pasien harus diberikan perawatan yang sesuai, pasangan seksual ikut untuk menjalani tes7.

Penatalaksanaan

Secara umum, manajemen obat yang paling efektif adalah golongan tetrasiklin dan eritromisin. Di samping itu dapat juga digunakan gabungan sulfa-trimetoprim, spiramisin dan kuinolon2. Beberapa dosis obat yang dapat digunakan sebagai pada tabel berikut.

Tabel II. Medikamentosa

Medikasi Dosis
Tetrasiklin HCl 4 x 500mg sehari selama 1 minggu atau4 x 250mg sehari selama 2 minggu
Oksitertrasiklin 4 x 250mg sehari selama 2 minggu
Doksisiklin 2 x 100mg sehari selama 1 minggu
Eritromisin 4 x 500mg sehari selama 1 minggu atau4 x 250mg sehari selama 2 minggu

(untuk penderita tidak tahan tetrasiklin, hamil, atau < 12 tahun)

Sulfa-trimetoprim 2 x 2 tablet sehari selama 1 minggu
Azitromisin 1 gram dosis tunggal
Spiramisin 4 x 500mg sehari selama 1 minggu
Ofloksasin 2 x 200 mg sehari selama 10 hari

Pasien dengan infeksi klamidia harus dimonitor selama 2 minggu. Pemberian informasi kepada pasangan, pencegahan hubungan seksual sementara serta penyelesaian terapi dengan benar harus dicek. Dalam hal ini pasangan maupun semua orang yang memiliki kontak seksual langsung dengan penderita harus diidentifikasi dan diberikan saran untuk mendapatkan terapi serupa4.

Pengobatan untuk infeksi mycoplasma genital, sama dengan pengobatan pada chlamydia. Fluorokuinolon dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk M. Hominis dan Ureaplasma sp. pada kondisi resistensi terhadap antibiotik lain3.

Prognosis

Kadang-kadang tanpa pengobatan, penyakit lambat laun berkurang dan akhirnya sembuh sendiri (50-70% dalam waktu sekitar 3 bulan). Setelah pengobatan, kira-kira 10% penderita akan mengalami eksaserbasi atau rekurensi2.

REFERENSI

 

  1. Blume A. et al, 2008. Should Men with Asymptomatic Non Specific Uretritis be Identified and Treated. International Journal of STD and AIDS.
  2. Djuanda A. dkk, 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia.
  3. Fauci K.B., Jameson H.B., 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. USA : Mc Graw Hill Companies.
  4. Horner P., 2002. Chlamydia and Nonspecific Uretritis. Journal of Paediatrics, Obstetrics and Gynaecology.
  5. Ivanov Y.B., 2005. Microbiological Features of Persistent Nonspecific Uretritis in Men. Journal of Microbiology, Immunology and Infection 2007;40:157-161.
  6. Karmila N., 2001. Infeksi Chlamidia Trachomatis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
  7. Odom R.B., 2000.  Andrew’s Diseases of the Skin Clinical Dermatology 9th Edition. Saunders Philadelpia.
  8. Wolff K. et al, 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition Volume 1 and 2. McGraw Hill Medical.
 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Agustus 15, 2010 inci Medical Articles

 

Manajemen Dasar Cairan

MANAJEMEN DASAR CAIRAN

Penulis : Irnizarifka

Komposisi cairan tubuh

Cairan tubuh memiliki berat total mencapai 50-60% dari berat badan seseorang, dengan proporsi terbesar ada pada ruang intrasel (sekitar 2/3 dari total cairan). Proporsi cairan tubuh ini menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir proporsinya mencapai 75% dari berat badan sedangkan pada orang lanjut usia hanya sekitar 55%. Cairan antar ruang dapat saling bergerak (difusi) sesuai dengan kebutuhan tubuh melalui respon terhadap gradien konsentrasi elektrolit. Elektrolit utama pada ruang intrasel adalah potasium (K+), sedangkan natrium (Na+) lebih banyak berada di ruang ekstrasel.

Volume ekstrasel terbagi menjadi volume interstitial dan intravaskuler. Secara normal, keseimbangan cairan intravaskuler dijaga oleh adanya tekanan onkotik yang berasal dari molekul-molekul intravaskuler yang berukuran besar, pergerakan cairan limfe dari interstitial ke intravaskuler, serta adanya tekanan yang mempertahankan volume ekstrasel tetap. Semua faktor tersebut akan membuat cairan masuk ke dalam ruang intravaskuler. Sedangkan faktor yang berlawanan seperti adanya tekanan hidrostatik oleh jantung dan sirkulasi serta tekanan onkotik cairan interstitial akan menyebabkan cairan keluar dari ruang intravaskuler. Keseimbangan kedua faktor inilah yang akan menjaga kestabilan hemodinamik intravaskuler seseorang yang penting untuk mengadakan sirkulasi adekuat yang diperlukan oleh sistim organ tubuh.

Pada kondisi normal, cairan tubuh manusia didistribusikan intrasel dan ekstrasel dengan perbandingan yang tetap. Dengan demikian segala kondisi yang dapat merubah komposisi tersebut akan mengakibatkan ketidak seimbangan hemodinamik yang dapat menjadi fatal.

Kondisi hipovolemia memiliki arti dimana terdapat penurunan volume intravaskuler yang tidak mempengaruhi kondisi volume interstitial. Sedangkan yang dimaksud dengan hipervolemia adalah kondisi peningkatan volume intervaskuler baik disertai peningkatan volume interstitial maupun tidak.

Cairan Kristaloid

Merupakan larutan dengan air (aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul kecil yang dapat menembus membran kapiler dengan mudah. Biasanya volume pemberian lebih besar, onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih sedikit dan harga lebih murah.

Yang termasuk cairan kristaloid antara lain salin (salin 0,9%, ringer laktat, ringer asetat), glukosa (D5%, D10%, D20%), serta sodium bikarbonat. Masing-masing jenis memiliki kegunaan tersendiri, dimana salin biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehari-hari dan saat kegawat daruratan, sedangkan glukosa biasa digunakan pada penanganan kasus hipoglikemia, serta sodium bikarbonat yang merupakan terapi pilihan pada kasus asidosis metabolik dan alkalinisasi urin.

Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien yang membutuhkan cairan segera.

Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis. Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid.

1. Normal Saline

Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154.

Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml.

Indikasi :

a. Resusitasi

Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler.

b. Diare

Kondisi diare menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah banyak, cairan NaCl digunakan untuk mengganti cairan yang hilang tersebut.

c. Luka Bakar

Manifestasi luka bakar adalah syok hipovolemik, dimana terjadi kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler dalam jumlah besar dari permukaan tubuh yang terbakar. Untuk mempertahankan cairan dan elektrolit dapat digunakan cairan NaCl, ringer laktat, atau dekstrosa.

d. Gagal Ginjal Akut

Penurunan fungsi ginjal akut mengakibatkan kegagalan ginjal menjaga homeostasis tubuh. Keadaan ini juga meningkatkan metabolit nitrogen yaitu ureum dan kreatinin serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemberian normal saline dan glukosa menjaga cairan ekstra seluler dan elektrolit.

Kontraindikasi : hipertonik uterus, hiponatremia, retensi cairan. Digunakan dengan pengawasan ketat pada CHF, insufisiensi renal, hipertensi, edema perifer dan edema paru.

Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume besar (biasanya paru-paru), penggunaan dalam jumlah besar menyebabkan akumulasi natrium.

2. Ringer Laktat (RL)

Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110, Basa = 28-30 mEq/l.

Kemasan : 500, 1000 ml.

Cara Kerja Obat : keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.

Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.

Kontraindikasi : hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.

Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya paru-paru.

Peringatan dan Perhatian : ”Not for use in the treatment of lactic acidosis”. Hati-hati pemberian pada penderita edema perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function & pre-eklamsia.

3. Dekstrosa

Komposisi : glukosa = 50 gr/l (5%), 100 gr/l (10%), 200 gr/l (20%).

Kemasan : 100, 250, 500 ml.

Indikasi : sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi selama dan sesudah operasi. Diberikan pada keadaan oliguria ringan sampai sedang (kadar kreatinin kurang dari 25 mg/100ml).

Kontraindikasi : Hiperglikemia.

Adverse Reaction : Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat menyebabkan iritasi pada pembuluh darah dan tromboflebitis.

4. Ringer Asetat (RA)

Larutan ini merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti. Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat) dimana laktat terutama dimetabolisme di hati, sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis. Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil seperti ini, RA memiliki manfaat-manfaat tambahan pada dehidrasi dengan kehilangan bikarbonat masif yang terjadi pada diare.

Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi sudah seharusnya diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Hal ini dikarenakan adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Ringer Asetat telah tersedia luas di berbagai negara. Cairan ini terutama diindikasikan sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur operasi; loading cairan saat induksi anestesi regional; priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga diindikasikan pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi.

Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis efek pemberian 350 ml RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi umum dan spinal terhadap parameter-parameter volume kinetik. Studi ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi arteri yang disebabkan hipovolemia sentral, yang umum terjadi setelah anestesi umum/spinal.

Untuk kasus obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba membandingkan efek pemberian infus cepat RL dengan RA terhadap metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam basa pada 20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal dan epidural sebelum seksio sesarea. Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3 parameter di atas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia).

Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke iskemik/hemoragik akut, sehingga umumnya para dokter spesialis saraf menghindari penggunaan cairan hipotonik karena kekhawatiran terhadap edema otak. Namun, Hahn dan Drobin (2003) memperlihatkan pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan pada stroke akut, terutama bila ada dugaan terjadinya edema otak.

Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu tubuh lebih baik dibanding RL secara signifikan pada menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa menimbulkan perbedaan yang signifikan pada parameter-parameter hemodinamik (denyut jantung dan tekanan darah sistolik-diastolik).

Tabel I. Komposisi Beberapa Cairan Kristaloid

Cairan Tonusitas Na

(mmol/l)

Cl

(mmol/l)

K (mmol/l) Ca (mmol/l) Glukosa (mg/dl) Laktat (mmol/l) Asetat (mmol/l)
NaCl 0,9 % 308 (isotonus) 154 154
½ Saline 154 (hipotonus) 77 77
Dextrose 5 % 253 (hipotonus) 5000
D5NS 561 (hipertonus 154 154 5000
D5 ¼NS 330 (isotonus) 38,5 38,5 5000
2/3 D & 1/3 S Hipertonus 51 51 3333
Ringer Laktat 273 (isotonus) 130 109 4 3 28
D5 RL 273 (isotonus) 130 109 4 3 50 28
Ringer Asetat 273,4 (isotonus) 130 109 4 3 28

Cairan Koloid

Merupakan larutan yang terdiri dari molekul-molekul besar yang sulit menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti cairan intravaskuler. Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, efek samping lebih banyak, dan lebih mahal.

Mekanisme secara umum memiliki sifat seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaannya membutuhkan volume yang sama dengan jumlah volume plasma yang hilang. Digunakan untuk menjaga dan meningkatkan tekanan osmose plasma.

1. Albumin

Komposisi : Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa yang dimurnikan dari plasma manusia (cotoh: albumin 5%).

Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena : volume yang dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, resiko akumulasi di dalam jaringan pada penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan resiko terjadinya anafilaksis lebih kecil.

Indikasi :

  • Pengganti volume plasma atau protein pada keadaan syok hipovolemia, hipoalbuminemia, atau hipoproteinemia, operasi, trauma, cardiopulmonary bypass, hiperbilirubinemia, gagal ginjal akut, pancretitis, mediasinitis, selulitis luas dan luka bakar.
  • Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Pasien dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan albumin dan furosemid yang dapat memberikan efek diuresis yang signifikan serta penurunan berat badan secara bersamaan.
  • Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi, kebakaran, operasi besar, infeksi (sepsis syok), berbagai macam kondisi inflamasi, dan ekskresi renal berlebih.
  • Pada spontaneus bacterial peritonitis (SBP) yang merupakan komplikasi dari sirosis. Sirosis memacu terjadinya asites/penumpukan cairan yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Terapi antibiotik adalah pilihan utama, sedangkan penggunaan albumin pada terapi tersebut dapat mengurangi resiko renal impairment dan kematian. Adanya bakteri dalam darah dapat menyebabkan terjadinya multi organ dysfunction syndrome (MODS), yaitu sindroma kerusakan organ-organ tubuh yang timbul akibat infeksi langsung dari bakteri.

Kontraindikasi : gagal jantung, anemia berat.

Produk : Plasbumin 20, Plasbumin 25.

2. HES (Hydroxyetyl Starches)

Komposisi : Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin.

Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran kapiler.

Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF). Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan.

Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien sepsis karena :

  • Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi kenaikan  permeabilitas.
  • Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid.
  • Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti asidosis refraktori.
  • HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi dengan menghambat adesi molekuler.

Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan pada sepsis karena :

  • Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli.
  • HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan dengan gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia.
  • HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF, pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal).
  • Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin pada pasien dengan sepsis.

Adverse reaction : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan pruritus.

Contoh : HAES steril, Expafusin.

3. Dextran

Komposisi : dextran tersusun dari polimer glukosa hasil sintesis dari bakteri Leuconostoc mesenteroides, yang ditumbuhkan pada media sukrosa.

Indikasi :

  • Penambah volume plasma pada kondisi trauma, syok sepsis, iskemia miokard, iskemia cerebral, dan penyakit vaskuler perifer.
  • Mempunyai efek anti trombus, mekanismenya adalah dengan menurunkan viskositas darah, dan menghambat agregasi platelet. Pada suatu penelitian dikemukakan bahwa dextran-40 mempunyai efek anti trombus paling poten jika dibandingkan dengan gelatin dan HES.

Kontraidikasi : pasien dengan tanda-tanda kerusakan hemostatik (trombositopenia, hipofibrinogenemia), tanda-tanda gagal jantung, gangguan ginjal dengan oliguria atau anuria yang parah.

Adverse Reaction : Dextran dapat menyebabkan syok anafilaksis, dextran juga sering dilaporkan dapat menyebabkan gagal ginjal akibat akumulasi molekul-molekul dextran pada tubulus renal. Pada dosis tinggi, dextran menimbulkan efek pendarahan yang signifikan.

Contoh : hibiron, isotic tearin, tears naturale II, plasmafusin.

4. Gelatin

Komposisi : Gelatin diambil dari hidrolisis kolagen bovine.

Indikasi : Penambah volume plasma dan mempunyai efek antikoagulan,

Pada sebuah penelitian invitro dengan tromboelastropgraphy diketahui bahwa gelatin memiliki efek antikoagulan, namun lebih kecil dibandingkan HES.

Kontraindikasi : haemacel tersusun atas sejumlah besar kalsium, sehingga harus dihindari pada keadaan hiperkalsemia.

Adverse reaction : dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Pada penelitian dengan 20.000 pasien, dilaporkan bahwa gelatin mempunyai resiko anafilaksis yang tinggi bila dibandingkan dengan starches.

Contoh : haemacel, gelofusine.

Cairan Khusus

Contoh dalam kelompok ini seperti cairan mannitol.

Daftar Pustaka

Bongard F.S., Sue D.Y., Vintch J.R., 2008. Current Diagnosis and Treatment Critical Care Third Edition. McGraw Hill.

Brenner M., Safani M., 2005. Critical Care and Cardiac Medicine. Current Clinical Strategies Publishing.

Carpenter D.O., 2001. Handbook of Pathophysiology. Springhouse Corporation.

Singer M., Webb A.R., 2005. OxfordHandbook of Critical Care 2nd Edition. Oxford University Press Inc.

Sue, D.Y., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill.

 
9 Komentar

Ditulis oleh pada Juli 9, 2010 inci Medical Articles