RSS

Arsip Bulanan: Juni 2013

Hipertensi pada Sindroma Nefrotik Pediatrik

HIPERTENSI PADA SINDROMA NEFROTIK PEDIATRIK

Irnizarifka, MD.

Resident at Dept. of Cardiology and Vascular Medicine

Faculty of Medicine, Universitas Indonesia

Sindroma nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan. Insidensi SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak dengan prevalensi antara 12-16 per 100.000 anak. Angka tersebut tercatat lebih tinggi pada Negara berkembang. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun anak berusia kurang dari 14 tahun mengalami SN dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. SN sendiri didefinisikan sebagai keadaan klinis yang ditandai dengan gejala proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kgBB/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 atau dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia < 2,5 mg/dL, edema, serta dapat disertai dengan hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. SN idiopatik adalah kombinasi antara sindroma nefrotik dan kelainan histologis nonspesifik termasuk kelainan minimal, fokal segmental glomerulosklerosis maupun proliferasi mesangial difus.

Terdapat beberapa definisi terkait dengan SN. Remisi adalah proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/ jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Relaps adalah proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Relaps jarang adalah relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau kurang dari 4x per tahun pengamatan. Relaps sering (relaps frekuen) adalah relaps ≥ 2x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau ≥ 4x dalam periode 1 tahun. Dependen steroid adalah relaps 2x berurutan pada saat dosis sterois diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari pengobatan dihentikan. Resisten steroid didefinisikan sebagai tidak terjadinya remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Sensitif steroid adalah remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu.

Kelainan penyebab terjadinya SN hanya teridentifikasi kurang dari 5 %, termasuk diantaranya adalah sistemik lupus eritematosus, Henoch Schonlein Purpura, amiloidosis dan infeksi HIV, parvovirus B19 serta virus hepatitis B dan C. Terdapat bukti epidemiologi bahwa insidensi sindroma nefrotik lebih tinggi di Asia Selatan. Indian Amerika, Hispanik, dan Amerika keturunan Afrika memiliki insidensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit putih. SN glomeruloskelosis juga lebih banyak ditemukan pada anak-anak Amerika keturunan Afrika dibandingkan dengan kulit putih.

SN idiopati atau primer merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Lesi glomerular yang dihubungkan dengan SN idiopatik termasuk kelainan minimal, fokal segmental glomerulosklerosis, glomerulonefritis membranoproliferatif, nefropati membranosa dan proliferasi mesangial difus. Beberapa sindroma nefrotik yang diturunkan disebabkan karena mutasi gen-gen yang mengkode komponen protein utama pada aparatus filtrasi glomerular. Gambaran klinis utama pasien dengan SN adalah adanya edema palpebral atau pretibial. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura dan edema skrotum. Keseluruhan gambaran klinis tersebut kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang ataupun diare. Dalam laporan oleh ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai dengan hematuria mikroskopik, 15-20% hipertensi dan 32% peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.

Klasifikasi SN berdasarkan gambaran histopatologis, dibagi dalam sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM), yang merupakan bagian besar (80%) dari SN idiopatik, dan sindroma nefrotik kelainan non minimal (SNKNM). Diantara SNKNM, bentuk glomeruloskerosis fokal segmental (GSFS) merupakan yang terbanyak pada anak (sekitar 7-8%), diikuti dengan 4-6% glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) dan 1,5% nefropati membranosa (GNM). Klasifikasi SN lain adalah berdasarkan etiologi. Sebagian besar SN pada anak bersifat primer, idiopatik, sedangkan sebagian kecil adalah SN sekunder yang etiologinya berasal dari penyakit sistemik di luar ginjal, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE) dan Henoch Schonlein Purpura. Bentuk yang lebih jarang adalah SN kongenital (Finnish type) yang terjadi sebelum usia 3 bulan dan disebabkan kelainan genetik, yakni adanya mutasi gen NPHS1 pada kromosom 19q13.1.

Manifestasi klinis SN terutama disebabkan oleh proteinuria, karenanya proteinuria dianggap sebagai kelainan primer. Gejala klinis lain dan hasil laboratorium dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria pada SN bersifat masif, sehingga berbeda dari proteinuria lain yang tidak disebabkan oleh SN. Dikatakan proteinuria masif apabila ekskresi protein > 40 mg/jam/m2 luas permukaan tubuh. Jenis protein yang hilang bervariasi tergantung dari lesi pada glomerulus. Pada SNKM, protein yang hilang sebagian besar adalah albumin sehingga disebut sebagai proteinuria selektif, sedangkan pada jenis lesi SN lainnya protein yang hilang adalah campuran albumin dan protein dengan berat molekul yang lebih besar sehingga disebut sebagai proteinuria nonselektif. Pada anak dengan SN, sintesis albumin dalam keadaan normal atau meningkat, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengkompensasi kehilangannya karena lolos dalam proses filtrasi glomerulus. Jumlah albumin yang didegradasi biasanya dibawah normal, meskipun hal ini bersifat relatif terhadap kadar albumin intravaskuler karena katabolisme fraktional meningkat melalui mekanisme peningkatan katabolisme albumin di tubulus ginjal dan penurunan katabolisme ekstrarenal. Hal inilah yang kemudian akan berperan dalam terjadinya edema.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain urinalisis yang disertai biakan urin bila ditemukan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih, pemeriksaan protein urin kuantitatif dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari, serta pemeriksaan darah yang terdiri atas darah tepi lengkap, albumin dan kolesterol serum, ureum, kreatinin, klirens kreatinin, serta kadar komponen C3, ANA dan anti ds-DNA bila dicurigai adanya SLE sebagai penyebab utama.

Proteinuria terjadi akibat adanya perubahan pada kapiler gomerulus dan pada umumnya tergantung  pada jenis lesinya. Pada SNKM didapatkan penurunan klirens protein bermuatan netral tapi peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. sehingga dianggap bahwa proses ini adalah akibat hilangnya barier muatan negatif. Heparan sulfat proteoglikan yang terdapat pada lamina rara eksterna dan interna menyebabkan timbulnya muatan negatif dan merupakan penghalang utama terhadap keluarnya molekul bermuatan negatif seperti albumin.  Penurunan heparan sulfat proteoglikan dengan heparitinase menyebabkan terjadinya albuminuria. Pada sel epitel terdapat terdapat sialoprotein glomerulus, suatu polianion yang memberikan muatan negatif pada sel epitel. Pada SNKM jumlah sialoprotein kembali normal setelah pemberian steroid, sedangkan pada SN akibat proliferatif glomerulonefritis atau diabetes melitus, klirens molekul kecil menurun dan klirens molekul besar meningkat, hal ini menunjukan adanya perubahan pada pori baik ukuran, jumlah ataupun keduanya.

Edema merupakan gejala kardinal pada SN. Mekanisme terjadinya edema dapat dijelaskan melalui dua teori, yaitu Teori Underfill dan Overfill/overflow. Teori Underfill adalah teori klasik mengenai pembentukan edema, yakni menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas glomerulus, albumin akan keluar dan kemudian menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial yang menyebabkan edema. Sebagai akibat dari pergeseran cairan ini, volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha tubuh untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan yang secara terus menerus menjaga volume plasma selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini akan terus memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.

Teori overflow/overfill menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron. Retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat dari perpindahan cairan ke dalam ruang interstisial. Teori ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang menurun sekunder terhadap hipervolemia.

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid dan edukasi orang tua. Prinsip utama pemberian steroid adalah dengan penyesuaian pada berat badan disertai pengukuran tekanan darah dan pencarian fokus infeksi terutama gigi-geligi, telinga dan kecacingan. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema cenderung tidak berat, maka anak diperbolehkan untuk kembali sekolah.

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi terhadap steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan/atau kreatinin dan infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal, selama 8 minggu maupun secara intravena (CPA puls) dengan dsis 500-750 mg/m2 LPB yang dilarutkan dalam 250 mL laruran NaCl 0,9% selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian adalah 6 bulan).

Hipertensi merupakan salah satu komplikasi dari SN yang dapat ditemukan baik pada awitan penyakit ataupun dalam perjalanan penyakit akibat toksisitas steroid. Pemberian steroid jangka panjang sendiri dapat menimbulkan efek samping yang signifikan terhadap penderita. Dengan demikian edukasi terhadap penderita dan orang tuanya menjadi sangat penting. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE-i (Angiotensin Converting Enzyme inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), CCB (Calcium Channel Blockers), atau antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah anak di bawah persentil 90. Pada semua pasien rawat jalan SN dengan pengobatan steroid, maka harus dilakukan pemantauan tekanan darah setiap 6 bulan sekali.

Tidak berbeda dengan kasus Chronic Kidney Disease (CKD), tujuan mengontol tekanan darah pada kasus SN ini adalah untuk memproteksi risiko lanjutan kardiovaskular dan menunda penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) yang progresif. Hingga saat ini belum ditemukan bukti spesifik tentang kepentingan tekanan sistolik ataupun diastolik dalam manajemen kontrol hipertensi pada kasus SN. Kontrol tekanan darah pada pasien anak dengan SN akan menjadi lebih baik bila berada di bawah persentil 50 tekanan darah sesuai usia dan jenis kelamin. Terapi menggunakan ACE-i atau ARB tetap menjadi lini pertama hipertensi pada kasus SN.

Terapi ACE-i dan ARB telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatis untuk mengubah permeabilitas glomerulus. ACE-i juga memiliki efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1 yang keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Golongan ACE-i yang dapat digunakan antara lain captopril 0,3 mg/kgBB diberikan 3xsehari, enalapril 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgBB dosis tunggal. Golongan ARB yang dapat digunakan hanya losartan 0,75 mg/kgBB dosis tunggal.

Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan selama 20 tahun menunjukkan hanya sekitar 4-5% berujung pada gagal ginjal terminal, sedangkan 25% GSFS akan menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun. Pada penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.

DAFTAR PUSTAKA

Eddy AA, Symons JM. Nephrotic Syndrome in Childhood. The lancet vol.362. 2003

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tatalaksana Sindroma Nefrotik Idiopatik pada Anak. Edisi kedua. 2012

National Kidney Foundation. Kidney Disease – Improving Global Outcomes. KDIGO Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Jour of Int Soc Nephr vol 2. 2012

Niaudet P. Long-term outcome of children with steroid-sensitive idiopathic nephrotic syndrome. Clinical journal american society nephrology 4: 1547-1548. 2009

Noer MS. Sindroma Nefrotik Idiopatik. Dalam : Kompendium Nefrologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2011

Pais P, Avner ED. Nephrotic Syndrome. In : Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition. Elsevier saunders. 2011

Wirya IGN. Sindrom Nefrotik. Dalam : Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2002

Wuhl E, Trivelli A, Picca S et al. Strict blood-pressure control and progression of renal failure in children. N Engl J Med 2009; 361: 1639–1650

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juni 2, 2013 inci Cardio Articles