RSS

Arsip Kategori: Medical Articles

Uretritis Non Spesifik

URETRITIS NON SPESIFIK

Penulis : Irnizarifka

Erika Khairani

Pendahuluan

Sebelum tahun 1970 hampir 90% kasus uretritis belum diketahui penyebabnya, sedangkan 10% sudah diketahui penyebabnya, yaitu Gonokok, Trichomonas vaginalis, Candida albicans dan benda asing. Dengan semakin majunya fasilitas diagnostik sesudah tahun 1970, penyebab uretritis sudah diketahui 75%, sedangkan sisanya 25% lagi masih dalam taraf penelitian2.

Uretritis merupakan kondisi urologis yang normal terjadi dan sulit ditegakkan diagnosanya oleh dokter, sehingga mempersulit pemberian pengobatan yang tepat. Organisme seperti Trichomonas vaginalis, Neiserria gonorrheae, Chlamydial trachomatis dan Mycoplasma spp dilaporkan menjadi penyebab terjadinya uretritis. Meski demikian, sebagian pasien dengan uretritis tidak memiliki organisme tersebut. Dengan demikian, diagnosa uretritis khususnya pada pria dengan tidak adanya penanda inflamasi uretra menjadi sulit, karena belum adanya informasi yang jelas mengenai komposisi flora uretra pada pria normal maupun penderita uretritis5.

Pada sebuah studi yang dilakukan, didapatkan beberapa mikroorganisme gram positif yang menjadi mikroflora pada uretra seseorang yang normal. Lactobacilli, Coagulase negative staphylococci dan Streptococci dilaporkan juga menjadi bagian dari flora normal. Partisipasi dari beberapa flora normal ini diyakini menjadi bagian untuk mencegah invasi mikroorganisme oportunistik5.

Uretritis merupakan kondisi inflamasi yang terjadi pada uretra yang dapat disebabkan oleh proses infeksi atau non infeksi dengan manifestasi discar, disuria, atau gatal pada ujung uretra. Temuan fisik yang paling sering ditemukan berupa discar uretra, sedangkan temuan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear dengan pengecatan Gram pada usapan uretra atau dari sedimen pancaran urin awal. Untuk memudahkan dalam perawatan, seringkali infeksi uretritis diklasifikasikankan menjadi Uretritis Gonococcal dan Uretritis Non-gonococcal (disebut pula uretritis non spesifik)3.

Disebut sebagai uretritis gonococcal jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Neisseria gonorrhea, sebaliknya jika tidak ditemukan N.gonorrhea disebut sebagai urethritia non gonococcal atau uretritis non spesifik. Kedua klasifikasi diatas termasuk dalam kategori penyakit dengan transmisi secara seksual7.

Infeksi Chlamidya trachomatis pada banyak negara merupakan penyebab utama infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Laporan WHO tahun 1995 menunjukkan bahwa infeksi oleh C. trachomatis diperkirakan 89 juta orang. Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada angka yang pasti mengenai infeksi C. trachomatis6.

Definisi

Uretritis Non Spesifik (UNS) memiliki pengertian yang lebih sempit dari Infeksi Genital Non Spesifik, dimana peradangan hanya pada uretra yang disebabkan oleh kuman non spesifik. Yang dimaksud dengan kuman spesifik adalah kuman yang dengan fasilitas laboratorium biasa atau sederhana dapat ditemukan seketika, misalnya gonokok, Candida albicans, Trichomonas vaginalis dan Gardnerella vaginalis2.

Uretritis Non Spesifik ditandai dengan keluarnya sekret dan/atau disuria, tetapi mungkin juga asmtomatik. Chlamydial trachomatis merupakan mikroorganisme tersering di negara maju yang menular melalui kontak seksual. Mikroorganisme ini utamanya menyerang traktus genitalia4.

Epidemiologi

Uretritis Non Spesifik banyak ditemukan pada orang dengan keadaan sosial ekonomi lebih tinggi, usia lebih tua dan aktivitas seksual yang lebih tinggi. Juga ternyata pria lebih banyak daripada wanita dan golongan heteroseksual lebih banyak daripada golongan homoseksual2.

Chlamydia trachomatis merupakan penyebab Uretritis Non Spesifik (UNS) terbanyak dibanding dengan organisme lain. Dari berbagai studi dilaporkan bahwa 30 – 60 % dari penderita UNS dapat diisolasi C. trachomatis, selanjutnya 4 – 43 % dari pria penderita gonore dan 0 – 7 % dari pria dengan uretritis asimtomatik6.

Etiologi

Uretritis non spesifik adalah inflamsi pada uretra yang disebabkan oleh infeksi selain gonococcal. Etiologi dari uretritis non spesifik dapat disebabkan oleh bakterial, viral, ataupun parasit. Banyak organisme berbeda yang berperan dalam terjadinya uretritis terutama agen bakteri basil Gram negative seperti E.Coli, Proteus, Klebsiella atau Enterobacter. Namun pada kasus uretritis non spesifik yang dapat ditularkan secara seksual agen yang sangat berperan adalah8 :

Bakteri  :  Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Haemophylus vaginalis, dan Mycoplasma genitalium.

Viral       : Herpes simpleks, Adenovirus.

Parasit   : Trichomonas vaginalis.

Tabel I. Etiologi Uretritis Menular Seksual

Gonococcal:N. gonorrhea

Nongonococcal :

C. trachomatis, 15-40%

M. genitalium, 15-25 %

Lain-lain, 20-50 %

T. vaginalis, 5-15%

U. urealyticum. <15%

HSV, 2-3%

Adenovirus, 2-4%

Haemophilus sp., jarang

Tidak diketahui

 

1. Infeksi Chlamydial trachomatis

Telah terbukti bahwa lebih dari 50% kasus Uretritis Non Spesifik disebabkan oleh kuman ini. Chlamydial trachomatis merupakan parasit intraobligat, menyerupai bakteri gram negatif. Chlamydial trachomatis penyebab Uretritis Non Spesifik ini termasuk subgroup A dan mempunyai tipe serologic D-K2.

Mikroorganisme ini menginfeksi 3-5% wanita muda yang secara seksual aktif. Prevalensi kejadian pada pria tidak diketahui tetapi diperkirakan rendah. Prevalensi secara keseluruhan diyakini meningkat, dikarenakan terdapat banyak infeksi yang tidak diketahui sehingga tidak mendapatkan terapi. Terhitung 89 juta infeksi terjadi di dunia setiap tahunnya, dengan 4-5 juta penderita berada di USA. Infeksi klamidial terjadi lebih banyak pada kelompok usia di bawah 25 tahun, dengan 1 atau lebih partner seksual, minim kontrasepsi, pengguna pil kontrasepsi dan pelaku aborsi kehamilan4.

Dalam perkembangannya, Chlamydial trachomatis mengalami 2 fase. Fase pertama (non infeksiosa) terjadi keadaan laten yang dapat ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva. Pada saat ini, kuman bersifat intraseluler dan berada di dalam vakuol yang letaknya melekat pada inti sel hospes (disebut badan inklusi). Sedangkan fase kedua (penularan) bila vakuola pecah kuman keluar dalam bentuk badan elementer yang dapat menimbulkan infeksi pada sel hospes yang baru2.

Species C. trachomatis mempunyai 515 serovar, dimana serovar A,B dan C menyebabkan tarchoma, serovar D sampai K menyebabkan infeksi genital, serovar L1 sampai L3 menyebabkan limfogranuloma venereum (LGV) 6.7. Chlamydia merupakan bakteri obligat intraselular, hanya dapat berkembang biak di dalam sel eukariot hidup dengan membentuk semacam koloni atau mikrokoloni yang disebut Badan Inklusi (BI). Chlamydia membelah secara benary fision dalam badan intrasitoplasma. C. trachomatis berbeda dari kebanyakkan bakteri karena berkembang mengikuti suatu siklus pertumbuhan yang unik dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu berupa Badan Inisial6.

Chlamydial trachomatis merupakan bakteri pathogen intraseluler yang mengakibatkan reaksi inflamasi. Pathogenesis dari sekuel inflamasi kronis dipercaya dimediasi oleh agen imunologis. Tetapi hal ini masih dalam penelitian4.

Chlamydial trachomatis adalah bakteri Gram negatif obligat intraseluler, dan merupakan penyebab penyakit menular seksual yang paling sering terjadi. Diperkirakan terjadi 4 juta kasus infeksi Chlamydia tiap tahunnya dengan angka prevalensi > 10 %, atau 15-40% dari kasus uretritis non spesifik atau dua kali prevalensi dari kasus Gonorrhea. Traktus urogenital merupakan daerah yang paling sering terinfeksi oleh C. trachomatis. Transmisi terjadi melalui rute oral, anal, atau melalui hubungan seksual. Gejala terjadi dalam 1-3 minggu setelah infeksi. Namun demikian, sering terjadi infeksi asimtomatik sebesar 80% pada wanita dan 50 % pada pria. Co-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya sering kali terjadi terutama gonorrhea7.

Manifestasi penyakit yang paling umum terjadi pada infeksi C. trachomatis adalah uretritis, ditandai dengan discharge encer atau mukoid pada uretra, dapat disertai dengan disuria. Pada infeksi rectum menyebabkan proktitis pada wanita maupun pria. Infeksi juga dapat termanifestasi sebagai Lymphogranuloma venerum3.

Infeksi menular melalui kontak penetrasi seksual termasuk seks oral. Pada beberapa kasus didapatkan penularan non kontak seksual, tetapi sangat jarang terjadi. Kebanyakan wanita yang terinfeksi akan mengalami periode asimtomatik dalam hitungan bulan hingga tahun, tetapi 10-40% akan mengalami penyakit peradangan pelvis. Masa inkubasinya tidak diketahui. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi akan mengalami konjungtivitis klamidial (30-50%) atau pneumonia. Pada pria, uretritis dikeluhkan dalam kurun waktu 1 bulan setelah mendapat pajanan infeksi, tetapi sekitar 50% kasus asimtomatik4.

Terapi yang direkomendasikan adalah doksisiklin 100 mg bd untuk 7 hari atau azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal. Keduanya sama secara klinis sama efektif. Pada wanita hamil, eritromisin 500 md bd untuk 14 hari atau amoksisilin 500 mg td adalah obat pilihan, tetapi penggunaan amoksisilin masih dalam perdebatan4.

 

2. Infeksi Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis

Ureaplasma urealyticum merupakan 25% sebagai penyebab Uretritis Non Spesifik dan sering bersamaan dengan infeksi Chlamydial trachomatis. Dahulu dikenal dengan nama T-strain mycoplasma. Mycoplasma hominis juga sering bersama-sama dengan infeksi Ureaplasma urealyticum. Mycoplasma hominis sebagai penyebab Uretritis Non Spesifik masih diragukan, karena kuman ini bersifat komensal yang dapat menjadi pathogen dalam kondisi tertentu. Ureaplasma urealyticum merupakan mikroorganisme paling kecil, gram negative dan sangat pleomorfik karena tidak memiliki dinding sel yang kaku2.

 

3. Infeksi Mycoplasma genitalium

Mycoplasma sp. merupakan  salah satu mikroorganisme terkecil yang dapt berkoloni di traktur respirasi dan urogenital. Mycoplasma memiliki 13 spesies, 4 diantaranya menginfeksi traktus genital, yaitu Mycoplasma hominis, M. genitalium, Ureaplasma parvum, dan U. urealyticum. Sekitar 40-80 % wanita yang aktif secara seksual mengalami kolonisasi genital dari ureaplasma. Organisme ini juga berperan dalam 20-30% kasus uretritis nonspesifik8.

Pasien dengan infeksi mycoplasma genital sering tidak terdiagnosis, karena gejala yang timbul biasanya dikaitkan dengan patogen lain yang lebih umum seperti Chlamydia. Seperti halnya Chlamydia, infeksi mycoplasma genital mengakibatkan uretritis, cervicitis, PID, endometritis, salpingitis, dan chorioamnionitis. Spesies lainnya dpat menyebabkan infeksi pernapasan, arthritis septic, pneumonia neonatal, dan meningitis8.

 

4. Infeksi Trichomonas vaginalis

Organisme lain seperti Trichomonas vaginalis dan virus herpes simpleks hanya berperan kecil dalam kejadian kasus uretritis non spesifik. T. vaginalis merupakan protozoa yang menyebabkan kondisi yang dinamakan trikomoniasis. T. vaginalis menginfeksi epitel vagina dan uretra, menyebabkan ulserasi. Infeksi pada wanita menyebabkan timbulnya keputihan yang berbau, berwarna kuning kehijauan, disertai pruritus, eritema dan dispareunia. Pada pria seringkali asimtomatis, keluhan yang muncul berupa discar uretra, nyeri berkemih yang terasa panas, dan frekuensi8.

 

5. Alergi

Ada dugaan bahwa Uretritis Non Spesifik disebabkan oleh reaksi alergi terhadap komponen sekret alat urogenital pasangan seksualnya. Alasan ini dikemukakan karena pada pemeriksaan sekret Uretritis Non Spesifik tersebut ternyata steril dan pemberian obat antihistamin dan kortikosteroid mengurangi gejala penyakit2.

 

6. Bakteri

Mikroorganisme penyebab Uretritis Non Spesifik ini adalah Staphylococcus dan Diphteroid. Sesungguhnya bakteri ini dapat tumbuh komensal dan menyebabkan uretritis hanya pada beberapa kasus2.

Gejala Klinis

Tanda dan gejala Uretritis Gonococcal (UG) dan Uretritis Non-Gonococcal (UNG) pada dasarnya adalah sama, namun berbeda pada derajat keparahan gejala yang timbul. Kedua uretritis baik gonococcal maupun non-gonococcal menyebabkan adanya lendir, dysuria, dan gatal pada uretra. Lendir yang sangat banyak, dan purulen lebih sering pada gonorrhea, sedangkan pada kondisi UNG, lendir yang dihasilkan lebih sedikit dan mukoid. Pada UNG, lendir sering hanya muncul pada pagi hari, atau hanya terlihat seperti krusta yang melekat di meatus atau terlihat seperti bercak pada pakaian dalam. frekuensi, hematuria, dan urgensi sering terjadi pada kedua jenis infeksi. Masa inkubasi jauh lebih pendek pada infeksi gonorrhea, yaitu dalam 2-6 hari, sedangkan pada UNG, gejala muncul dalam 1-5 minggu setelah infeksi, dengan masa inkubasi rata-rata 2-3 minggu7.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kreiger yang membandingkan manifestasi klinis uretritis gonococcal, chlamydial, dan trichomonal. Hanya 55% pria dengan trichomoniasis yang mengalami lendir uretra, dibandingkan pada infeksi Chlamydia 82%, dan 93% pada gonorrhea. Lendir yang dihasilkan pada infeksi N. gonorrhea, 82% berjumlah sangat banyak dan purulen. Berbeda dengan infeksi Chlamydia dan Trichomonal dengan sedikit lendir berwarna jernih atau mukoid7.

Tanda pada Pria

Gejala baru mulai timbul biasanya setelah 1-3 minggu kontak seksual dan umumnya tidak seberat gonore. Gejalanya berupa disuria ringan, perasaan tidak enak di uretra, sering kencing dan keluarnya duh tubuh seropurulen. Dibandingkan dengan gonore, perjalanan penyakit lebih lama karena masa inkubasi yang lebih lama dan ada kecenderungan kambuh kembali. Pada beberapa keadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh, sehingga menyulitkan diagnosis. Dalam keadaan demikian sangat diperlukan pemeriksaan laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi berupa prostatitis, vesikulitis, epididimitis dan striktur uretra2.

 

Tanda pada Wanita

Infeksi lebih ringan terjadi di serviks bila dibandingkan dengan vagina, kelenjar Bartholin atau uretra sendiri. Sama seperti pada gonore, umumnya wanita tidak menunjukkan adanya gejala. Sebagian kecil dengan keluhan keluarnya duh tubuh vagina, disuria ringan, sering kencing, nyeri daerah pelvis dan dispareunia. Pada pemeriksaan serviks dapat dilihat tanda-tanda servisitis yang disertai adanya folikel-folikel kecil yang mudah berdarah. Komplikasi dapat berupa bartholinitis, proktitis, salfingitis dan sistitis. Peritonitis dan perihepatitis juga pernah dilaporkan2.

Diagnosis

Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena gonore atau non-gonore. Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis oleh klamidia, perlu pemeriksaan khusus untuk menemukan atau menentukan adanya C. trachomatis. Pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan sejak lama adalah pemeriksaan sediaan sitologi langsung dan biakan dari inokulum yang diambil dari specimen urogenital. Baru pada tahun 1980an ditemukan tehnologi pemeriksaan terhadap antigen dan asam nukleat C. trachomatis2.

Pemeriksaan menyeluruh pada pasien dengan penyakit menular seksual, termasuk uretritis, sangat penting dalam mengarahkan terapi yang tepat. Kuantitas discar pada uretritis dapat dikategorikan “banyak” (mengalir secara spontan dari uretra), “sedikit” (keluar hanya jika uretra di ekspos), “sedang” (keluar secara spontan, namun hanya sedikit).  Warna dan karakter discharge uretra harus diperhatikan. Lendir berwarna kekuningan atau hijau disebut sebagai lender purulen. Lendir berwarna putih yang bercampur cairan jernih dinamakan lender “mukoid”. Jika hanya lendir bening, dinamakan “jernih”. Adanya inflamasi pada meatus uretra, edema penis, dan pembesaran kelenjar limfe juga harus diperhatikan7.

Pemeriksaan sitologi langsung dengan pewarnaan giemsa memiliki sensitivitas tinggi untuk konjungtivitis (95%), sedangkan untuk infeksi genital rendah (pria 15%, wanita 41%). Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya juga rendah, 62%. Hingga saat ini pemeriksaan biakan masih menjadi baku emas pemeriksaan klamidia. Spesifitasnya mencapai 100%, tetapi sensitivitasnya bervariasi bergantung pada laboratorium yang digunakan (nilai berkisar 75-85%). Prosedur, tehnik dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3 hingga 7 hari2.

Metode pendeteksian antigen ada beberapa cara, yaitu Direct Fluorescent Antibody (DFA) yang menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dengan mikroskop imunofluoresen dan Enzyme Immuno Assay (EIA) atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dengan alat spektrofotometri. Metode pendeteksian terbaru adalah dengan cara mendeteksi asam nukleat C. trachomatis. Hibridisasi DNA Probe (Gen Probe) mendeteksi DNA CT lebih sensitive dibanding Elisa karena dapat mendeteksi DNA dalam jumlah kecil melalui proses hibridisasi. Cara lain menggunakan Amplifikasi Asam Nukleat (Polimerase Chain Reaction dan Ligase Chain Reaction) 2.

Dalam sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2008, didapatkan hasil bahwa tidak diperlukan adanya investigasi lebih lanjut menggunakan mikroskopi pada penderita yang asimtomatik karena hanya presentase kecil penderita didapatkan hasil yang positif akan bakteri patogen1.

Penegakan diagnosis uretritis didasarkan pada tanda klinis serta pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut:

  1. Discar purulen atau mukopurulen.
  2. Pengecatan Gram pada sekresi uretra menunjukkan adanya >5 leukosit per lapang pandang. Pengecatan Gram merupakan tes diagnostik yang umum digunakan untuk mengevaluasi uretritis. Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik untuk menentukan adanya uretritis dan ada tidaknya infeksi gonococcal. Infeksi gonococcal ditegakkan jika ditemukan diplococcus intraseluler pada leukosit.
  3. Tes leukosit esterase pada pancaran urin pertama yang menunjukkan hasil positif atau pemeriksaan mikroskopis pancaran urin pertama menunjukkan ≥10 leukosit per lapang pandang besar.

Jika tidak ada kriteria diatas yang positif, pasien harus di tes untuk konfirmasi infeksi N. gonorrhea atau C. trachomatis. Jika hasil tes menunjukkan infeksi N. gonorrhea atau C.trachomatis, pasien harus diberikan perawatan yang sesuai, pasangan seksual ikut untuk menjalani tes7.

Penatalaksanaan

Secara umum, manajemen obat yang paling efektif adalah golongan tetrasiklin dan eritromisin. Di samping itu dapat juga digunakan gabungan sulfa-trimetoprim, spiramisin dan kuinolon2. Beberapa dosis obat yang dapat digunakan sebagai pada tabel berikut.

Tabel II. Medikamentosa

Medikasi Dosis
Tetrasiklin HCl 4 x 500mg sehari selama 1 minggu atau4 x 250mg sehari selama 2 minggu
Oksitertrasiklin 4 x 250mg sehari selama 2 minggu
Doksisiklin 2 x 100mg sehari selama 1 minggu
Eritromisin 4 x 500mg sehari selama 1 minggu atau4 x 250mg sehari selama 2 minggu

(untuk penderita tidak tahan tetrasiklin, hamil, atau < 12 tahun)

Sulfa-trimetoprim 2 x 2 tablet sehari selama 1 minggu
Azitromisin 1 gram dosis tunggal
Spiramisin 4 x 500mg sehari selama 1 minggu
Ofloksasin 2 x 200 mg sehari selama 10 hari

Pasien dengan infeksi klamidia harus dimonitor selama 2 minggu. Pemberian informasi kepada pasangan, pencegahan hubungan seksual sementara serta penyelesaian terapi dengan benar harus dicek. Dalam hal ini pasangan maupun semua orang yang memiliki kontak seksual langsung dengan penderita harus diidentifikasi dan diberikan saran untuk mendapatkan terapi serupa4.

Pengobatan untuk infeksi mycoplasma genital, sama dengan pengobatan pada chlamydia. Fluorokuinolon dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk M. Hominis dan Ureaplasma sp. pada kondisi resistensi terhadap antibiotik lain3.

Prognosis

Kadang-kadang tanpa pengobatan, penyakit lambat laun berkurang dan akhirnya sembuh sendiri (50-70% dalam waktu sekitar 3 bulan). Setelah pengobatan, kira-kira 10% penderita akan mengalami eksaserbasi atau rekurensi2.

REFERENSI

 

  1. Blume A. et al, 2008. Should Men with Asymptomatic Non Specific Uretritis be Identified and Treated. International Journal of STD and AIDS.
  2. Djuanda A. dkk, 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia.
  3. Fauci K.B., Jameson H.B., 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. USA : Mc Graw Hill Companies.
  4. Horner P., 2002. Chlamydia and Nonspecific Uretritis. Journal of Paediatrics, Obstetrics and Gynaecology.
  5. Ivanov Y.B., 2005. Microbiological Features of Persistent Nonspecific Uretritis in Men. Journal of Microbiology, Immunology and Infection 2007;40:157-161.
  6. Karmila N., 2001. Infeksi Chlamidia Trachomatis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
  7. Odom R.B., 2000.  Andrew’s Diseases of the Skin Clinical Dermatology 9th Edition. Saunders Philadelpia.
  8. Wolff K. et al, 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition Volume 1 and 2. McGraw Hill Medical.
 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Agustus 15, 2010 inci Medical Articles

 

Manajemen Dasar Cairan

MANAJEMEN DASAR CAIRAN

Penulis : Irnizarifka

Komposisi cairan tubuh

Cairan tubuh memiliki berat total mencapai 50-60% dari berat badan seseorang, dengan proporsi terbesar ada pada ruang intrasel (sekitar 2/3 dari total cairan). Proporsi cairan tubuh ini menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir proporsinya mencapai 75% dari berat badan sedangkan pada orang lanjut usia hanya sekitar 55%. Cairan antar ruang dapat saling bergerak (difusi) sesuai dengan kebutuhan tubuh melalui respon terhadap gradien konsentrasi elektrolit. Elektrolit utama pada ruang intrasel adalah potasium (K+), sedangkan natrium (Na+) lebih banyak berada di ruang ekstrasel.

Volume ekstrasel terbagi menjadi volume interstitial dan intravaskuler. Secara normal, keseimbangan cairan intravaskuler dijaga oleh adanya tekanan onkotik yang berasal dari molekul-molekul intravaskuler yang berukuran besar, pergerakan cairan limfe dari interstitial ke intravaskuler, serta adanya tekanan yang mempertahankan volume ekstrasel tetap. Semua faktor tersebut akan membuat cairan masuk ke dalam ruang intravaskuler. Sedangkan faktor yang berlawanan seperti adanya tekanan hidrostatik oleh jantung dan sirkulasi serta tekanan onkotik cairan interstitial akan menyebabkan cairan keluar dari ruang intravaskuler. Keseimbangan kedua faktor inilah yang akan menjaga kestabilan hemodinamik intravaskuler seseorang yang penting untuk mengadakan sirkulasi adekuat yang diperlukan oleh sistim organ tubuh.

Pada kondisi normal, cairan tubuh manusia didistribusikan intrasel dan ekstrasel dengan perbandingan yang tetap. Dengan demikian segala kondisi yang dapat merubah komposisi tersebut akan mengakibatkan ketidak seimbangan hemodinamik yang dapat menjadi fatal.

Kondisi hipovolemia memiliki arti dimana terdapat penurunan volume intravaskuler yang tidak mempengaruhi kondisi volume interstitial. Sedangkan yang dimaksud dengan hipervolemia adalah kondisi peningkatan volume intervaskuler baik disertai peningkatan volume interstitial maupun tidak.

Cairan Kristaloid

Merupakan larutan dengan air (aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul kecil yang dapat menembus membran kapiler dengan mudah. Biasanya volume pemberian lebih besar, onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih sedikit dan harga lebih murah.

Yang termasuk cairan kristaloid antara lain salin (salin 0,9%, ringer laktat, ringer asetat), glukosa (D5%, D10%, D20%), serta sodium bikarbonat. Masing-masing jenis memiliki kegunaan tersendiri, dimana salin biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehari-hari dan saat kegawat daruratan, sedangkan glukosa biasa digunakan pada penanganan kasus hipoglikemia, serta sodium bikarbonat yang merupakan terapi pilihan pada kasus asidosis metabolik dan alkalinisasi urin.

Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien yang membutuhkan cairan segera.

Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis. Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid.

1. Normal Saline

Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154.

Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml.

Indikasi :

a. Resusitasi

Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler.

b. Diare

Kondisi diare menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah banyak, cairan NaCl digunakan untuk mengganti cairan yang hilang tersebut.

c. Luka Bakar

Manifestasi luka bakar adalah syok hipovolemik, dimana terjadi kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler dalam jumlah besar dari permukaan tubuh yang terbakar. Untuk mempertahankan cairan dan elektrolit dapat digunakan cairan NaCl, ringer laktat, atau dekstrosa.

d. Gagal Ginjal Akut

Penurunan fungsi ginjal akut mengakibatkan kegagalan ginjal menjaga homeostasis tubuh. Keadaan ini juga meningkatkan metabolit nitrogen yaitu ureum dan kreatinin serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemberian normal saline dan glukosa menjaga cairan ekstra seluler dan elektrolit.

Kontraindikasi : hipertonik uterus, hiponatremia, retensi cairan. Digunakan dengan pengawasan ketat pada CHF, insufisiensi renal, hipertensi, edema perifer dan edema paru.

Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume besar (biasanya paru-paru), penggunaan dalam jumlah besar menyebabkan akumulasi natrium.

2. Ringer Laktat (RL)

Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110, Basa = 28-30 mEq/l.

Kemasan : 500, 1000 ml.

Cara Kerja Obat : keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.

Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.

Kontraindikasi : hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.

Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya paru-paru.

Peringatan dan Perhatian : ”Not for use in the treatment of lactic acidosis”. Hati-hati pemberian pada penderita edema perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function & pre-eklamsia.

3. Dekstrosa

Komposisi : glukosa = 50 gr/l (5%), 100 gr/l (10%), 200 gr/l (20%).

Kemasan : 100, 250, 500 ml.

Indikasi : sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi selama dan sesudah operasi. Diberikan pada keadaan oliguria ringan sampai sedang (kadar kreatinin kurang dari 25 mg/100ml).

Kontraindikasi : Hiperglikemia.

Adverse Reaction : Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat menyebabkan iritasi pada pembuluh darah dan tromboflebitis.

4. Ringer Asetat (RA)

Larutan ini merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti. Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat) dimana laktat terutama dimetabolisme di hati, sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis. Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil seperti ini, RA memiliki manfaat-manfaat tambahan pada dehidrasi dengan kehilangan bikarbonat masif yang terjadi pada diare.

Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi sudah seharusnya diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Hal ini dikarenakan adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Ringer Asetat telah tersedia luas di berbagai negara. Cairan ini terutama diindikasikan sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur operasi; loading cairan saat induksi anestesi regional; priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga diindikasikan pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi.

Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis efek pemberian 350 ml RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi umum dan spinal terhadap parameter-parameter volume kinetik. Studi ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi arteri yang disebabkan hipovolemia sentral, yang umum terjadi setelah anestesi umum/spinal.

Untuk kasus obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba membandingkan efek pemberian infus cepat RL dengan RA terhadap metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam basa pada 20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal dan epidural sebelum seksio sesarea. Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3 parameter di atas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia).

Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke iskemik/hemoragik akut, sehingga umumnya para dokter spesialis saraf menghindari penggunaan cairan hipotonik karena kekhawatiran terhadap edema otak. Namun, Hahn dan Drobin (2003) memperlihatkan pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan pada stroke akut, terutama bila ada dugaan terjadinya edema otak.

Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu tubuh lebih baik dibanding RL secara signifikan pada menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa menimbulkan perbedaan yang signifikan pada parameter-parameter hemodinamik (denyut jantung dan tekanan darah sistolik-diastolik).

Tabel I. Komposisi Beberapa Cairan Kristaloid

Cairan Tonusitas Na

(mmol/l)

Cl

(mmol/l)

K (mmol/l) Ca (mmol/l) Glukosa (mg/dl) Laktat (mmol/l) Asetat (mmol/l)
NaCl 0,9 % 308 (isotonus) 154 154
½ Saline 154 (hipotonus) 77 77
Dextrose 5 % 253 (hipotonus) 5000
D5NS 561 (hipertonus 154 154 5000
D5 ¼NS 330 (isotonus) 38,5 38,5 5000
2/3 D & 1/3 S Hipertonus 51 51 3333
Ringer Laktat 273 (isotonus) 130 109 4 3 28
D5 RL 273 (isotonus) 130 109 4 3 50 28
Ringer Asetat 273,4 (isotonus) 130 109 4 3 28

Cairan Koloid

Merupakan larutan yang terdiri dari molekul-molekul besar yang sulit menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti cairan intravaskuler. Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, efek samping lebih banyak, dan lebih mahal.

Mekanisme secara umum memiliki sifat seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaannya membutuhkan volume yang sama dengan jumlah volume plasma yang hilang. Digunakan untuk menjaga dan meningkatkan tekanan osmose plasma.

1. Albumin

Komposisi : Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa yang dimurnikan dari plasma manusia (cotoh: albumin 5%).

Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena : volume yang dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, resiko akumulasi di dalam jaringan pada penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan resiko terjadinya anafilaksis lebih kecil.

Indikasi :

  • Pengganti volume plasma atau protein pada keadaan syok hipovolemia, hipoalbuminemia, atau hipoproteinemia, operasi, trauma, cardiopulmonary bypass, hiperbilirubinemia, gagal ginjal akut, pancretitis, mediasinitis, selulitis luas dan luka bakar.
  • Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Pasien dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan albumin dan furosemid yang dapat memberikan efek diuresis yang signifikan serta penurunan berat badan secara bersamaan.
  • Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi, kebakaran, operasi besar, infeksi (sepsis syok), berbagai macam kondisi inflamasi, dan ekskresi renal berlebih.
  • Pada spontaneus bacterial peritonitis (SBP) yang merupakan komplikasi dari sirosis. Sirosis memacu terjadinya asites/penumpukan cairan yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Terapi antibiotik adalah pilihan utama, sedangkan penggunaan albumin pada terapi tersebut dapat mengurangi resiko renal impairment dan kematian. Adanya bakteri dalam darah dapat menyebabkan terjadinya multi organ dysfunction syndrome (MODS), yaitu sindroma kerusakan organ-organ tubuh yang timbul akibat infeksi langsung dari bakteri.

Kontraindikasi : gagal jantung, anemia berat.

Produk : Plasbumin 20, Plasbumin 25.

2. HES (Hydroxyetyl Starches)

Komposisi : Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin.

Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran kapiler.

Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF). Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan.

Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien sepsis karena :

  • Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi kenaikan  permeabilitas.
  • Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid.
  • Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti asidosis refraktori.
  • HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi dengan menghambat adesi molekuler.

Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan pada sepsis karena :

  • Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli.
  • HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan dengan gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia.
  • HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF, pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal).
  • Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin pada pasien dengan sepsis.

Adverse reaction : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan pruritus.

Contoh : HAES steril, Expafusin.

3. Dextran

Komposisi : dextran tersusun dari polimer glukosa hasil sintesis dari bakteri Leuconostoc mesenteroides, yang ditumbuhkan pada media sukrosa.

Indikasi :

  • Penambah volume plasma pada kondisi trauma, syok sepsis, iskemia miokard, iskemia cerebral, dan penyakit vaskuler perifer.
  • Mempunyai efek anti trombus, mekanismenya adalah dengan menurunkan viskositas darah, dan menghambat agregasi platelet. Pada suatu penelitian dikemukakan bahwa dextran-40 mempunyai efek anti trombus paling poten jika dibandingkan dengan gelatin dan HES.

Kontraidikasi : pasien dengan tanda-tanda kerusakan hemostatik (trombositopenia, hipofibrinogenemia), tanda-tanda gagal jantung, gangguan ginjal dengan oliguria atau anuria yang parah.

Adverse Reaction : Dextran dapat menyebabkan syok anafilaksis, dextran juga sering dilaporkan dapat menyebabkan gagal ginjal akibat akumulasi molekul-molekul dextran pada tubulus renal. Pada dosis tinggi, dextran menimbulkan efek pendarahan yang signifikan.

Contoh : hibiron, isotic tearin, tears naturale II, plasmafusin.

4. Gelatin

Komposisi : Gelatin diambil dari hidrolisis kolagen bovine.

Indikasi : Penambah volume plasma dan mempunyai efek antikoagulan,

Pada sebuah penelitian invitro dengan tromboelastropgraphy diketahui bahwa gelatin memiliki efek antikoagulan, namun lebih kecil dibandingkan HES.

Kontraindikasi : haemacel tersusun atas sejumlah besar kalsium, sehingga harus dihindari pada keadaan hiperkalsemia.

Adverse reaction : dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Pada penelitian dengan 20.000 pasien, dilaporkan bahwa gelatin mempunyai resiko anafilaksis yang tinggi bila dibandingkan dengan starches.

Contoh : haemacel, gelofusine.

Cairan Khusus

Contoh dalam kelompok ini seperti cairan mannitol.

Daftar Pustaka

Bongard F.S., Sue D.Y., Vintch J.R., 2008. Current Diagnosis and Treatment Critical Care Third Edition. McGraw Hill.

Brenner M., Safani M., 2005. Critical Care and Cardiac Medicine. Current Clinical Strategies Publishing.

Carpenter D.O., 2001. Handbook of Pathophysiology. Springhouse Corporation.

Singer M., Webb A.R., 2005. OxfordHandbook of Critical Care 2nd Edition. Oxford University Press Inc.

Sue, D.Y., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill.

 
9 Komentar

Ditulis oleh pada Juli 9, 2010 inci Medical Articles

 

Demam Berdarah Dengue

DEMAM BERDARAH DENGUE

Penulis : Irnizarifka

Pendahuluan

Demam Dengue (DD/Dengue Fever) dan Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemorrhagic Fever) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Tidak seperti DD yang merupakan demam yang bersifat self-limited, DBD merupakan penyakit komplikasi yang lebih serius dan biasanya diikuti oleh komplikasi Sindroma Syok Dengue (SSD/Dengue Shock Syndrome) jika tidak segera mendapatkan penanganan yang adekuat. Keduanya merupakan penyakit yang mengancam jiwa, hal ini ditandai oleh manifestasi perdarahan dan kehilangan plasma dari ruang vaskuler.

Etiologi dan Transmisi

Demam dengue dan Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus berdiameter 30 nm yang terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4×106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, dengan variasi DEN-3 merupakan serotipe terbanyak yang ditemukan di Indonesia. Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di Indonesia.

Vektor virus dengue adalah nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Virus dengue ditransmisikan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes betina yang terinfeksi. Nyamuk betina tersebut mendapatkan infeksi virus dengue saat sedang mencari makanan dalam darah manusia yang terinfeksi. Setelah melewati masa inkubasi yang biasanya sekitar 8-10 hari, nyamuk tersebut dapat menularkan infeksi virus dengue kepada manusia lain hingga seumur hidupnya saat sedang mencari makanan dalam darah manusia tersebut. Nyamuk betina tersebut juga dapat menularkan infeksi virus melalui telur yang dikeluarkannya, tetapi mekanisme transmisi tersebut hingga saat ini belum diketahui secara rinci.

Epidemiologi

Pada tahun 1950, sebuah epidemik DBD ditemukan untuk pertama kalinya di Filipina dan Thailand. Saat ini DBD lebih banyak menjangkiti negara di Asia dan merupakan penyebab utama hospitalisasi dan kematian. Sebelum tahun 1970 hanya 9 negara pernah mengalami epidemik dari DBD, sebuah peningkatan angka lebih dari 4 kalinya terjadi sampai tahun 1995.

Dalam dekade terakhir, insidensi dengue di dunia terus meningkat secara dramatis. Di tahun 2009, sekitar 2,5 miliar orang (2/5 dari total populasi) memiliki resiko terinfeksi virus dengue yang dibawa oleh vektor nyamuk Aedes Aegypti tersebut. World Health Organization (WHO) saat ini memperkirakan hingga 50 juta infeksi virus dengue terjadi di dunia setiap tahunnya. Usia terbanyak yang terinfeksi dengue adalah kelompok usia 4-10 tahun, meskipun saat ini makin banyak kelompok usia lebih tua menderita DBD.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Center of Disease Control (CDC) pada 2005, persebaran vektor nyamuk Aedes Aegypti beserta manifestasi infeksi virus dengue telah menyebar di hampir seluruh wilayah tropis dunia. Indonesia termasuk negara persebaran vektor dengue yang juga merupakan daerah epidemis dari infeksi dengue.

Untuk wilayah Asia Tenggara, hingga September 2008 terjadi peningkatan 18% dari jumlah kasus yang telah dilaporkan kepada WHO dan 15% peningkatan pelaporan kasus kematian bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan yang terjadi ini terkait dengan peningkatan kejadian yang signifikan pada 3 negara yaitu Thailand, Myanmar, dan Indonesia. Transmisi dengue tersebut mencapai puncaknya pada bulan Februari di Indonesia, Juni di Thailand, dan Juli di Myanmar. Rasio tingkat kefatalan penyakit (fatality rate) di Thailand kurang dari 0,2%, sedangkan di Indonesia dan Myanmar masih berkisar 1%. Meskipun demikian, terdapat beberapa laporan outbreak fokal dengan fatality rate sekitar 3-5% di beberapa daerah di India, Indonesia, maupun Myanmar.

Di Indonesia, infeksi dengue terjadi lebih dominan di wilayah perkotaan yang dihuni oleh lebih dari 35% dari total populasi negara. Di tahun 2004, sejak tanggal 1 Januari hingga 3 Maret, Kementrian Kesehatan Indonesia telah melaporkan kasus dengue sebanyak 23.857 termasuk 367 diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2007, laporan total kasus mencapai 118.115 infeksi dengue dengan kasus terbanyak terjadi di Jakarta dan Jawa Barat (masing-masing sekitar 25.000 kasus). Kasus lainnya dilaporkan terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah (10.000 hingga 20.000 kasus), Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Lampung, Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Bali (masing-masing 1.000 hingga 5.000 kasus), serta propinsi lainnya kurang dari 1.000 kasus.

Patogenesis

Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan, tetapi terdapat bukti bahwa sistem imun memiliki peranan penting pada terjadinya DBD dan SSD. Respon imun humoral bekerja dengan membentuk antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi Komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Limfosit T, baik T-helper (CD4) maupun T-sitotoksik (CD8), berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Selain itu, aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya mediator C3a dan C5a yang merupakan mekanisme terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme berikut, 1). Supresi sumsum tulang dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Sedangkan kadar trombopoietin dalam darah saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan. Hal tersebut menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombopenia.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada DBD grade III dan IV.

Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit

Demam dengue merupakan penyakit infeksi yang tidak fatal dan cenderung singkat yang ditandai oleh nyeri kepala tiba-tiba, nyeri belakang bola mata, demam yang tinggi dan nyeri sendi. Namun, melalui suatu mekanisme yang dikenal sebagai immune enhancement, infeksi yang berlangsung secara sekuen akibat infeksi virus dengue tertentu tersebut dapat berlanjut dengan komplikasi yang lebih serius, yang dikenal sebagai DBD dan bahkan SSD.

Menurut penelitian yang dilakukan Juffrie (2002), Liu (2003) dan Wageenar (2004), dengue adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam akut karena infeksi virus. Karakteristik yang mungkin didapatkan antara lain demam bifasik, nyeri kepala, nyeri pada beberapa bagian tubuh tertentu, limfadenopati, serta leukopenia. Demam tinggi yang terjadi pada infeksi virus dengue tersebut berlangsung selama 5-6 hari (dengan suhu 103-105 oF atau 39-40 oC) meskipun demam dapat turun pada hari ketiga atau keempat.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Parameter yang dapat diperiksa antara lain :

1.   Lekosit dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui Limfositosis relatif (>45% dari total leukosit).

2.   Trombositopenia yang biasanya muncul pada hari ke 3-8.

3.   Hematokrit yang meningkat >20% baik dari populasi yang sama maupun dari hematokrit awal membuktikan adanya kebocoran plasma. Umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

4.   Hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen dan D-dimer) pada kecurigaan perdarahan atau koagulopati.

5.   Hipoproteinemia atau hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma.

6.   Elektrolit sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

7.   Imunoserologi berupa IgM (merupakan penanda infeksi saat ini) dan IgG (merupakan penanda infeksi masa lalu). IgM akan terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari setelahnya. Sedangkan IgG terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi primer dan hari ke-2 pada infeksi sekunder.

Diagnosis pasti DBD dapat didapatkan dengan melakukan tes isolasi virus dengue pada serum atau mengunakan PCR atau mendapatkan peningkatan titer serologi IgM dan peningkatan 4 kali lipat serologi IgG menggunakan metode inhibisi hemaglutinasi.

Radiologis

Pada pemeriksaan rontgen toraks bisa didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan, tetapi apabila terjadi perembesan plasma yang hebat dapat terjadi pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan.

Asites dan efusi pleura juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG. Khusus pada kejadian efusi pleura yang minimal, pemeriksaan rontgen toraks dapat dilakukan pada posisi dekubitus lateral kanan.

Diagnosis

Perbedaan utama DB dengan DBD terletak pada kebocoran plasma yang hanya ditemukan pada Kasus DBD. Demam dengue merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari dan ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis berikut :

1.   Nyeri kepala.

2.   Nyeri retro-orbital.

3.   Mialgia/atralgia.

4.   Ruam kulit.

5.   Manifestasi perdarahan (petekie/uji bendung positif).

6.   Leukopenia.

Sedangkan demam berdarah dengue berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 ditegakkan bila semua hal berikut terpenuhi :

1.   Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari dan biasanya bifasik.

2.   Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji bendung positif, petekie / ekimosis / purpura, perdarahan mukosa / tempat lain, hematemesis / melena).

3.   Trombositopenia <100.000/μl.

4.   Terdapat tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit >20% dari populasi sejenis atau penurunan >20% dari nilai sebelumnya setelah pemberian terapi cairan atau telah terjadi efusi pleura / asites / hipoproteinemia).

Tabel I. Klasifikasi Derajat Dengue

GEJALA LABORATORIUM
DD Demam disertai 2 atau lebih manifestasi klinis infeksi virus dengue. Leukopenia, trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma. Tes serologi dengue positif
DBD I Gejala di atas disertai tes rumple leed positif sebagai manifestasi perdarahan. Leukopenia, trombositopenia dan ditemukan bukti kebocoran plasma.
DBD II Gejala di atas disertai manifestasi perdarahan spontan (tersering epistaksis dan perdarahan gusi).
DBD III Gejala di atas disertai kegagalan sirkulasi (takikardi, menurunnya tekanan nadi < 20mmHg atau hipotensi, kulit dingin dan lembab serta gelisah).
DBD IV Ditemukannya syok berat yang ditandai dengan tidak terukurnya tekanan darah dan nadi.

Tatalaksana

Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue. Penanganan suportif merupakan yang terpenting, seperti pemeliharaan cairan sirkulasi terutama cairan oral. Bila asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.

Karena tidak ada terapi yang spesifik, penanganan secara medis untuk mempertahankan volume cairan sirkulasi dapat menyelamatkan jiwa bahkan menurunkan tingkat mortalitas dari 20% menjadi kurang dari 1%. Penggunaan aspirin dan OAINS sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan resiko terjadinya sindrom Reye ataupun perdarahan.

Pada kasus DBD disertai peningkatan hematokrit 20% dari normal, menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini, terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 7cc/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau selama 4 jam dan dievaluasi setelahnya. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan penurunan hematokrit, penurunan frekuensi nadi, tekanan darah yang stabil dan produksi urin yang meningkat, maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5cc/kgBB/jam. Evaluasi kondisi pasien dilakukan setelah 2 jam pemberian. Bila hasil membaik, maka pemberian cairan dapat diturunkan kembali menjadi 3cc/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan selanjutnya keadaan tetap cenderung membaik, maka pemberian cairan dapat dihentikan dalam 24-48 jam selanjutnya.

Bila setelah pemberian cairan pertama didapatkan kondisi yang cenderung makin memburuk, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit, peningkatan nadi, penurunan tekanan darah < 20 mmHg serta produksi urin yang menurun, maka jumlah cairan harus ditingkatkan menjadi 10cc/kgBB/jam yang kemudian dievaluasi lagi. Pemberian cairan dapat ditingkatkan lagi menjadi 15cc/kgBB/jam bila keadaan pasien setelahnya cenderung makin memburuk.

Transfusi komponen darah diberikan sesuai dengan indikasi. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), sedangkan Packed Red Cells (PRC) diberikan bila didapatkan kadar hemoglobin <10 g/dl serta transfusi tombosit diberikan bila terdapat perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3.

Belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi dengue meskipun hingga saat ini penelitiannya sedang dalam proses. Untuk mendapatkan virus dengue yang baik, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Keempat jenis virus yang mempunyai relasi sangat dekat membuat penciptaan vaksin harus dapat mencakup keempatnya secara efektif. Masih terbatasnya pengetahuan tentang patogenesis virus secara spesifik dan bagaimana virus memprovokasi sistem imun juga menjadi kendala utama.

Daftar Pustaka

Calisher, H.H., 2005. Persistent Emergence of Dengue [comment].

Center of Disease Control, 2005. Map : World Distributionof Dengue Viruses and Their Mosquito Vector Aedes Aegypti. CDC Division of Vector-Borne Infectious Disease.

Guzman M.G., Kouri G., 2004. Dengue diagnosis, advances and challenges. International Journal of Infection Disease 8:69-80.

Juffrie, M., vd Meer, G.M., Veerman, A.J.P., Thijs, L.G., Hack, C.E., 2002. Inflammatory Mediators in Dengue Virus Infection : Circulating Interleukin-12 and Interferon-γ. Dengue Bulletin-Vol 26.

Liu, J., Khor, B., Lee, C., Lee, I., Chen, R., Yang, K.D., 2003. Dengue Hemorrhagic Fever in Taiwan. Dengue Bulletin-Vol 27.

Pusponegoro H.D., Hadinegoro H.R., Firmanda D., Tridjaja B., Pudjiadi A.H., Kosim M.S., Rusmli K., 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sugijanto, S., 2004. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Airlangga University Press.

Suhendro, Nainggolan L., Chen K., Pohan H.T., 2004. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wagenaar, J.F.P, Mairuhu, A.T.A., van Gorp, E.C.M., 2004. Genetic Influences on Dengue Virus Infections. Dengue Bulletin-Vol 28.

World Health Organization. 1998. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

World Health Organization, 2005. Dengue, Dengue Hemorrhagic Fever, and Dengue Shock Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness. World Health Organization.

World Health Organization Dengue Prevention and Control Regional Office for South East Asia, 2008. Dengue Status in South East Asia Region : An Epidemiological Perspective. WHO Fact Sheet No 117SEA/RC61/R5.

World Health Organization, 2009. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. World Health Organization Media Centre.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juni 27, 2010 inci Medical Articles