RSS

Arsip Bulanan: Oktober 2010

Kompleksitas Tensi Tinggi yang Mengancam Jiwa pada Pelayanan Primer Perifer

KOMPLEKSITAS TENSI TINGGI YANG MENGANCAM JIWA

PADA PELAYANAN PRIMER PERIFER

 

Irnizarifka

General Medicine and Emergency Department

Siantan Timur Primary Health Care

Anambas, Kepri

Tekanan darah tinggi, atau lebih dikenal dengan istilah hipertensi, merupakan permasalahan medis yang sangat penting terutama di kalangan usia tua. Menurut data yang dikeluarkan oleh JNC 7, penyakit ini diderita oleh lebih dari setengah populasi berusia 60-69 tahun dan bahkan tiga perempat populasi berusia di atas 70 tahun.

Dari sumber yang sama, hipertensi sistolik merupakan bentuk tersering pada usia 50 tahun ke atas. Data lain oleh Framingham Heart Study menyatakan bahwa orang dengan tensi yang normal sekalipun, memiliki risiko mengalami darah tinggi sebesar 90% saat usianya mulai menginjak 55 tahun, dan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya usia.

Bagi masyarakat awam penyakit ini lebih dikenal sebagai penyakit karena usia, sehingga beberapa orang menganggap hipertensi hanyalah suatu kondisi dan bukan merupakan penyakit yang harus mendapatkan perhatian secara medis.

Hal ini menjadi tantangan yang serius, mengingat hubungan antara hipertensi dengan tingkat kejadian penyakit jantung berlaku secara kontinyu dan independen dari faktor risiko lain.

Terdapat banyak permasalahan yang menjadi dasar sulit terkontrolnya tekanan darah pada penderitanya di level penyelenggaraan pelayanan primer, seperti kendala geografis yang menyulitkan akses kesehatan, keterbatasan Sumber Daya Manusia kompeten terutama di pelayanan kesehatan perifer, keterbatasan pasokan dan pilihan medikasi, hingga kurangnya kesadaran dan kepatuhan dari populasi itu sendiri.

Semua permasalahan tersebut menyebabkan banyak penderita hipertensi tidak mendapatkan manajemen yang adekuat untuk mengontrol tensi yang dimilikinya. Implikasi permasalahan ini berupa munculnya beberapa kasus krisis hipertensi yang mengancam jiwa, baik hipertensi urgensi maupun hipertensi emergensi.

Permasalahan tersebut relatif dapat terpecahkan di Puskesmas dengan pelayanan rawat inap, sedangkan pada Puskesmas ‘minimalis’ yang hanya mengandalkan pelayanan rawat jalan sebagai ujung tombak, hal ini tentunya menjadi lebih sulit, dimana idealisme penanganan musti mengalami sedikit modifikasi tetapi tanpa berubah dari tatalaksana paten dan terkini yang telah ditetapkan.

Hipertensi dikatakan emergensi bila secara mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 dan/atau diastolik ≥ 120, dengan disertai bukti kerusakan organ target. Tatalaksana penurunan tensi dilakukan dalam hitungan menit sampai jam.

Tekanan darah mulanya diturunkan 20-25% dalam 5-120 menit pertama, yang kemudian harus telah mencapai 160/100 mmHg dalam 2-6 jam.Di 6-24 jam berikutnya tekanan darah diturunkan hingga di bawah 140/90 mmHg.

Hipertensi urgensi merupakan kondisi dimana sistolik ≥ 180 dan/atau diastolik ≥ 120 yang mendadak tetapi tanpa disertai bukti kerusakan organ target. Tatalaksana hipertensi urgensi dapat dilakukan dalam hitungan jam hingga hari.

Pada suatu daerah terpencil dimana terdapat beberapa hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan level lebih tinggi, manajemen krisis hipertensi tetap harus diusahakan seoptimal mungkin.

Permasalahan lebih banyak terjadi pada situasi yang dimiliki oleh Puskesmas ‘minimalis’, dimana memonitor pasien merupakan keterbatasan tersendiri. Karena itu, edukasi pada keluarga pasien dapat menjadi prioritas.

Manajemen tensi tinggi yang mengancam jiwa dimodifikasi dengan keterlibatan keluarga dalam memonitor pasien secara sederhana, seperti bila terdapat penurunan kondisi umum pasien atau munculnya gejala lain yang sebelumnya tidak ada.

Obat Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACEi) sublingual menjadi Drug of Choice (DOC), sedangkan penggunaan Calcium Channel Blocker (CCB) sebisa mungkin dihindari karena secara klinis dapat menurunkan tensi dengan cepat dengan kemungkinan untuk tidak termonitor.

Predikat keterbatasan baik pada pelayanan Puskesmas ‘minimalis’ maupun pelayanan primer perifer seharusnya dirubah menjadi suatu tantangan tersendiri. Hal ini dapat dilakukan oleh petugas medis dengan memodifikasi tata cara tanpa mengubah tatalaksana paten.

Peningkatan program promotif dan preventif diharapkan dapat menjadi penekan munculnya kasus krisis hipertensi yang mengancam jiwa tersebut.

Daftar Pustaka:

  1. Camm A.J., Luscher T.F., Serruys P.W., 2009. The ESC Cardiovascular Medicine Second Edition. Oxford University Press.
  2. Lukito A.A., dkk., 2008. Ringkasan Eksekutif Krisis Hipertensi. Perhimpunan Hipertensi Indonesia.
  3. Singer M., Webb A.R., 2005. Oxford Handbook of Critical Care 2nd Edition. Oxford University Press Inc.
  4. Sue, D.Y., Vintch J.R., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill.
  5. United States Department of Health and Human Services. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee. National Institute of Health Publication.
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 2, 2010 inci Cardio Articles