RSS

Arsip Bulanan: Juni 2010

Demam Berdarah Dengue

DEMAM BERDARAH DENGUE

Penulis : Irnizarifka

Pendahuluan

Demam Dengue (DD/Dengue Fever) dan Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemorrhagic Fever) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Tidak seperti DD yang merupakan demam yang bersifat self-limited, DBD merupakan penyakit komplikasi yang lebih serius dan biasanya diikuti oleh komplikasi Sindroma Syok Dengue (SSD/Dengue Shock Syndrome) jika tidak segera mendapatkan penanganan yang adekuat. Keduanya merupakan penyakit yang mengancam jiwa, hal ini ditandai oleh manifestasi perdarahan dan kehilangan plasma dari ruang vaskuler.

Etiologi dan Transmisi

Demam dengue dan Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus berdiameter 30 nm yang terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4×106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, dengan variasi DEN-3 merupakan serotipe terbanyak yang ditemukan di Indonesia. Variasi DEN-3 dan DEN-2 secara berurutan merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat di Indonesia.

Vektor virus dengue adalah nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Virus dengue ditransmisikan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes betina yang terinfeksi. Nyamuk betina tersebut mendapatkan infeksi virus dengue saat sedang mencari makanan dalam darah manusia yang terinfeksi. Setelah melewati masa inkubasi yang biasanya sekitar 8-10 hari, nyamuk tersebut dapat menularkan infeksi virus dengue kepada manusia lain hingga seumur hidupnya saat sedang mencari makanan dalam darah manusia tersebut. Nyamuk betina tersebut juga dapat menularkan infeksi virus melalui telur yang dikeluarkannya, tetapi mekanisme transmisi tersebut hingga saat ini belum diketahui secara rinci.

Epidemiologi

Pada tahun 1950, sebuah epidemik DBD ditemukan untuk pertama kalinya di Filipina dan Thailand. Saat ini DBD lebih banyak menjangkiti negara di Asia dan merupakan penyebab utama hospitalisasi dan kematian. Sebelum tahun 1970 hanya 9 negara pernah mengalami epidemik dari DBD, sebuah peningkatan angka lebih dari 4 kalinya terjadi sampai tahun 1995.

Dalam dekade terakhir, insidensi dengue di dunia terus meningkat secara dramatis. Di tahun 2009, sekitar 2,5 miliar orang (2/5 dari total populasi) memiliki resiko terinfeksi virus dengue yang dibawa oleh vektor nyamuk Aedes Aegypti tersebut. World Health Organization (WHO) saat ini memperkirakan hingga 50 juta infeksi virus dengue terjadi di dunia setiap tahunnya. Usia terbanyak yang terinfeksi dengue adalah kelompok usia 4-10 tahun, meskipun saat ini makin banyak kelompok usia lebih tua menderita DBD.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Center of Disease Control (CDC) pada 2005, persebaran vektor nyamuk Aedes Aegypti beserta manifestasi infeksi virus dengue telah menyebar di hampir seluruh wilayah tropis dunia. Indonesia termasuk negara persebaran vektor dengue yang juga merupakan daerah epidemis dari infeksi dengue.

Untuk wilayah Asia Tenggara, hingga September 2008 terjadi peningkatan 18% dari jumlah kasus yang telah dilaporkan kepada WHO dan 15% peningkatan pelaporan kasus kematian bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan yang terjadi ini terkait dengan peningkatan kejadian yang signifikan pada 3 negara yaitu Thailand, Myanmar, dan Indonesia. Transmisi dengue tersebut mencapai puncaknya pada bulan Februari di Indonesia, Juni di Thailand, dan Juli di Myanmar. Rasio tingkat kefatalan penyakit (fatality rate) di Thailand kurang dari 0,2%, sedangkan di Indonesia dan Myanmar masih berkisar 1%. Meskipun demikian, terdapat beberapa laporan outbreak fokal dengan fatality rate sekitar 3-5% di beberapa daerah di India, Indonesia, maupun Myanmar.

Di Indonesia, infeksi dengue terjadi lebih dominan di wilayah perkotaan yang dihuni oleh lebih dari 35% dari total populasi negara. Di tahun 2004, sejak tanggal 1 Januari hingga 3 Maret, Kementrian Kesehatan Indonesia telah melaporkan kasus dengue sebanyak 23.857 termasuk 367 diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2007, laporan total kasus mencapai 118.115 infeksi dengue dengan kasus terbanyak terjadi di Jakarta dan Jawa Barat (masing-masing sekitar 25.000 kasus). Kasus lainnya dilaporkan terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah (10.000 hingga 20.000 kasus), Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Lampung, Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Bali (masing-masing 1.000 hingga 5.000 kasus), serta propinsi lainnya kurang dari 1.000 kasus.

Patogenesis

Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan, tetapi terdapat bukti bahwa sistem imun memiliki peranan penting pada terjadinya DBD dan SSD. Respon imun humoral bekerja dengan membentuk antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi Komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Limfosit T, baik T-helper (CD4) maupun T-sitotoksik (CD8), berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Selain itu, aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya mediator C3a dan C5a yang merupakan mekanisme terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme berikut, 1). Supresi sumsum tulang dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Sedangkan kadar trombopoietin dalam darah saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan. Hal tersebut menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombopenia.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada DBD grade III dan IV.

Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit

Demam dengue merupakan penyakit infeksi yang tidak fatal dan cenderung singkat yang ditandai oleh nyeri kepala tiba-tiba, nyeri belakang bola mata, demam yang tinggi dan nyeri sendi. Namun, melalui suatu mekanisme yang dikenal sebagai immune enhancement, infeksi yang berlangsung secara sekuen akibat infeksi virus dengue tertentu tersebut dapat berlanjut dengan komplikasi yang lebih serius, yang dikenal sebagai DBD dan bahkan SSD.

Menurut penelitian yang dilakukan Juffrie (2002), Liu (2003) dan Wageenar (2004), dengue adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam akut karena infeksi virus. Karakteristik yang mungkin didapatkan antara lain demam bifasik, nyeri kepala, nyeri pada beberapa bagian tubuh tertentu, limfadenopati, serta leukopenia. Demam tinggi yang terjadi pada infeksi virus dengue tersebut berlangsung selama 5-6 hari (dengan suhu 103-105 oF atau 39-40 oC) meskipun demam dapat turun pada hari ketiga atau keempat.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Parameter yang dapat diperiksa antara lain :

1.   Lekosit dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui Limfositosis relatif (>45% dari total leukosit).

2.   Trombositopenia yang biasanya muncul pada hari ke 3-8.

3.   Hematokrit yang meningkat >20% baik dari populasi yang sama maupun dari hematokrit awal membuktikan adanya kebocoran plasma. Umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

4.   Hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen dan D-dimer) pada kecurigaan perdarahan atau koagulopati.

5.   Hipoproteinemia atau hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma.

6.   Elektrolit sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

7.   Imunoserologi berupa IgM (merupakan penanda infeksi saat ini) dan IgG (merupakan penanda infeksi masa lalu). IgM akan terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari setelahnya. Sedangkan IgG terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi primer dan hari ke-2 pada infeksi sekunder.

Diagnosis pasti DBD dapat didapatkan dengan melakukan tes isolasi virus dengue pada serum atau mengunakan PCR atau mendapatkan peningkatan titer serologi IgM dan peningkatan 4 kali lipat serologi IgG menggunakan metode inhibisi hemaglutinasi.

Radiologis

Pada pemeriksaan rontgen toraks bisa didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan, tetapi apabila terjadi perembesan plasma yang hebat dapat terjadi pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan.

Asites dan efusi pleura juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG. Khusus pada kejadian efusi pleura yang minimal, pemeriksaan rontgen toraks dapat dilakukan pada posisi dekubitus lateral kanan.

Diagnosis

Perbedaan utama DB dengan DBD terletak pada kebocoran plasma yang hanya ditemukan pada Kasus DBD. Demam dengue merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari dan ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis berikut :

1.   Nyeri kepala.

2.   Nyeri retro-orbital.

3.   Mialgia/atralgia.

4.   Ruam kulit.

5.   Manifestasi perdarahan (petekie/uji bendung positif).

6.   Leukopenia.

Sedangkan demam berdarah dengue berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 ditegakkan bila semua hal berikut terpenuhi :

1.   Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari dan biasanya bifasik.

2.   Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji bendung positif, petekie / ekimosis / purpura, perdarahan mukosa / tempat lain, hematemesis / melena).

3.   Trombositopenia <100.000/μl.

4.   Terdapat tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit >20% dari populasi sejenis atau penurunan >20% dari nilai sebelumnya setelah pemberian terapi cairan atau telah terjadi efusi pleura / asites / hipoproteinemia).

Tabel I. Klasifikasi Derajat Dengue

GEJALA LABORATORIUM
DD Demam disertai 2 atau lebih manifestasi klinis infeksi virus dengue. Leukopenia, trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma. Tes serologi dengue positif
DBD I Gejala di atas disertai tes rumple leed positif sebagai manifestasi perdarahan. Leukopenia, trombositopenia dan ditemukan bukti kebocoran plasma.
DBD II Gejala di atas disertai manifestasi perdarahan spontan (tersering epistaksis dan perdarahan gusi).
DBD III Gejala di atas disertai kegagalan sirkulasi (takikardi, menurunnya tekanan nadi < 20mmHg atau hipotensi, kulit dingin dan lembab serta gelisah).
DBD IV Ditemukannya syok berat yang ditandai dengan tidak terukurnya tekanan darah dan nadi.

Tatalaksana

Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue. Penanganan suportif merupakan yang terpenting, seperti pemeliharaan cairan sirkulasi terutama cairan oral. Bila asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.

Karena tidak ada terapi yang spesifik, penanganan secara medis untuk mempertahankan volume cairan sirkulasi dapat menyelamatkan jiwa bahkan menurunkan tingkat mortalitas dari 20% menjadi kurang dari 1%. Penggunaan aspirin dan OAINS sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan resiko terjadinya sindrom Reye ataupun perdarahan.

Pada kasus DBD disertai peningkatan hematokrit 20% dari normal, menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini, terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 7cc/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau selama 4 jam dan dievaluasi setelahnya. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan penurunan hematokrit, penurunan frekuensi nadi, tekanan darah yang stabil dan produksi urin yang meningkat, maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5cc/kgBB/jam. Evaluasi kondisi pasien dilakukan setelah 2 jam pemberian. Bila hasil membaik, maka pemberian cairan dapat diturunkan kembali menjadi 3cc/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan selanjutnya keadaan tetap cenderung membaik, maka pemberian cairan dapat dihentikan dalam 24-48 jam selanjutnya.

Bila setelah pemberian cairan pertama didapatkan kondisi yang cenderung makin memburuk, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit, peningkatan nadi, penurunan tekanan darah < 20 mmHg serta produksi urin yang menurun, maka jumlah cairan harus ditingkatkan menjadi 10cc/kgBB/jam yang kemudian dievaluasi lagi. Pemberian cairan dapat ditingkatkan lagi menjadi 15cc/kgBB/jam bila keadaan pasien setelahnya cenderung makin memburuk.

Transfusi komponen darah diberikan sesuai dengan indikasi. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), sedangkan Packed Red Cells (PRC) diberikan bila didapatkan kadar hemoglobin <10 g/dl serta transfusi tombosit diberikan bila terdapat perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3.

Belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi dengue meskipun hingga saat ini penelitiannya sedang dalam proses. Untuk mendapatkan virus dengue yang baik, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Keempat jenis virus yang mempunyai relasi sangat dekat membuat penciptaan vaksin harus dapat mencakup keempatnya secara efektif. Masih terbatasnya pengetahuan tentang patogenesis virus secara spesifik dan bagaimana virus memprovokasi sistem imun juga menjadi kendala utama.

Daftar Pustaka

Calisher, H.H., 2005. Persistent Emergence of Dengue [comment].

Center of Disease Control, 2005. Map : World Distributionof Dengue Viruses and Their Mosquito Vector Aedes Aegypti. CDC Division of Vector-Borne Infectious Disease.

Guzman M.G., Kouri G., 2004. Dengue diagnosis, advances and challenges. International Journal of Infection Disease 8:69-80.

Juffrie, M., vd Meer, G.M., Veerman, A.J.P., Thijs, L.G., Hack, C.E., 2002. Inflammatory Mediators in Dengue Virus Infection : Circulating Interleukin-12 and Interferon-γ. Dengue Bulletin-Vol 26.

Liu, J., Khor, B., Lee, C., Lee, I., Chen, R., Yang, K.D., 2003. Dengue Hemorrhagic Fever in Taiwan. Dengue Bulletin-Vol 27.

Pusponegoro H.D., Hadinegoro H.R., Firmanda D., Tridjaja B., Pudjiadi A.H., Kosim M.S., Rusmli K., 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sugijanto, S., 2004. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Airlangga University Press.

Suhendro, Nainggolan L., Chen K., Pohan H.T., 2004. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wagenaar, J.F.P, Mairuhu, A.T.A., van Gorp, E.C.M., 2004. Genetic Influences on Dengue Virus Infections. Dengue Bulletin-Vol 28.

World Health Organization. 1998. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

World Health Organization, 2005. Dengue, Dengue Hemorrhagic Fever, and Dengue Shock Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness. World Health Organization.

World Health Organization Dengue Prevention and Control Regional Office for South East Asia, 2008. Dengue Status in South East Asia Region : An Epidemiological Perspective. WHO Fact Sheet No 117SEA/RC61/R5.

World Health Organization, 2009. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. World Health Organization Media Centre.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juni 27, 2010 inci Medical Articles

 

Mengenal Faktor Risiko Penyakit Jantung

MENGENAL FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG

Irnizarifka MD
Nyamuk Integrated Cardiac Unit
Puskesmas Siantan Timur-Anambas

Penyakit jantung merupakan penyakit tersering dengan tingkat kematian di Eropa mencapai hampir 48%. Kehadiran penyakit jantung erat hubungannya dengan faktor risiko jantung yang dimiliki oleh seseorang. Meningkatnya proporsi populasi usia tua di dunia juga menjadi dasar sebab meningkatnya kejadian penyakit jantung. Oleh karena itu, pengontrolan terhadap faktor risiko merupakan salah satu bagian penting dari manajemen penyakit jantung secara keseluruhan yang optimal.

Faktor risiko penyakit jantung dapat digolongkan pada 3 kriteria utama yaitu risiko tinggi, sedang dan rendah. Risiko tinggi memerlukan terapi definitif untuk menghilangkan risiko tersebut, risiko sedang memerlukan intervensi preventif dengan tetap memperhatikan keamanan dan efikasi intervensi, sedangkan risiko rendah “hanya” memerlukan prevensi primer. Meningkatnya kategori risiko berkaitan dengan meningkatnya risiko terjadinya infark miokard pada seseorang, yang hanya ‹ 10% pada kelompok risiko rendah dan menjadi › 20% pada kelompok risiko tinggi.

Faktor risiko juga dapat digolongkan menjadi 2 kategori lain yang berbeda, yakni faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor risiko yang sering ditemukan antara lain kadar kolesterol darah tinggi, kadar LDL (Low Density Lipoprotein) tinggi, kadar trigliserida tinggi, hipertensi, diabetes, obesitas, aktivitas fisik yang kurang, serta merokok. Semua faktor risiko tadi merupakan faktor risiko yang dapat dikontrol, baik dengan perubahan gaya hidup maupun medikasi. Sedangkan usia tua, jenis kelamin wanita dan riwayat penyakit jantung pada keluarga merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.

Hasil penelitian yang dirilis oleh Interheart Study menyatakan adanya 90% keterkaitan antara 9 faktor risiko dengan kejadian infark miokard yang pertama, dengan 70% nya merupakan keterkaitan dengan kebiasaan merokok. Faktor risiko lain meliputi hipertensi, diabetes, obesitas sentral, kurang aktivitas, faktor psikososial, rendahnya konsumsi buah dan sayur, konsumsi alkohol, serta rasio ApoB/ApoA 1.

Terdapat 8 karakteristik seseorang dikatakan hidup sehat seperti dipublikasikan oleh Panduan Klinis Eropa, yakni tidak merokok, memilih makanan yang sehat, melakukan aktivitas fisik setidaknya 30 menit per hari, BMI ‹ 25 kg/m2, tekanan darah ‹ 140/90 mmHg, kolesterol total ‹ 190 mg/dl, LDL ‹ 115 mg/dl dan kadar glukosa ‹ 110 mg/dl.

Kebiasaan merokok sendiri merupakan satu faktor risiko independen penting yang sebenarnya dapat dicegah. Kebiasaan merokok ini diperkirakan menjadi penyebab sekitar 30% penyakit gagal jantung. Pada suatu penelitian, didapatkan data penurunan risiko kematian akibat infark miokard setelah berhenti merokok (RR 0,64; 95% CI 0,58-0,71) serta penurunan kejadian infark miokard non fatal (RR 0,68; 95% CI 0,57-0,82).
Keterkaitan aktivitas fisik yang cukup dengan risiko penyakit jantung nyata terlihat dengan hasil metaanalisis dimana aktivitas fisik yang cukup dapat menurunkan risiko kematian total sebesar 27% dan risiko kematian akibat jantung sebesar 31%. Meskipun faktor risiko ini dapat dicegah, namun setidaknya 60% populasi global dinyatakan gagal memenuhi rekomendasi minimum aktivitas 30 menit per hari.

Keterlibatan obesitas sentral sebagai salah satu faktor risiko bersifat kompleks karena melibatkan beberapa kadar lipid dan glukosa dalam darah, yang masing-masing juga memiliki risiko independen terhadap penyakit jantung. Hipertensi sendiri, yang memiliki keterlibatan lebih dari 50% dari semua penyakit jantung di dunia, merupakan faktor risiko tersembunyi yang terkait usia. Sehingga perlu untuk dilakukan screening tekanan darah terutama saat usia menginjak 50 tahun, dimana risiko hipertensi sudah mulai meningkat.

Dalam dekade terakhir peran kondisi psikososial terhadap kejadian penyakit jantung koroner semakin terlihat nyata. Kondisi psikososial yang dimaksud adalah depresi yang secara klinis meningkatkan kejadian ulang penyakit jantung pada seseorang. Meski demikian, terapi medikasi depresi hingga saat ini belum terbukti dapat menurunkan risiko tersebut, sehingga peran dukungan sosial menjadi prioritas.

Penyakit jantung dapat dicegah. Dengan kompleksitas faktor risiko terhadap penyakit jantung yang ada, perhatian sudah seharusnya diberikan pada faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dengan melakukan tindakan preventif dan promotif. Dengan demikian diharapkan tingkat kejadian penyakit jantung maupun kesakitan dan kematian karenanya dapat berangsur turun.

Referensi
Camm A.J., Luscher T.F., Serruys P.W., 2009. The ESC Cardiovascular Medicine Second Edition. Oxford University Press.
O’Rourke R.A., Walsh R.A., Fuster V., 2009. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology Twelfh Edition. McGraw Hill.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juni 1, 2010 inci Cardio Articles